Tambah Keterampilan, Target Garap Riset Bisnis
Saya bersyukur melakoni profesi sebagai jurnalis. Meski awalnya bukan cita-cita saya. Tapi begitulah hidup yang penuh misteri. Tak ada yang pernah tahu kenyataan yang akan terjadi. Pengendaraan yang gila dan tidak ada yang menjamin. Mengalir bak air bah yang menggulung bumi.
Tiba-tiba saya merasa di titik yang cukup jauh dan harus terus melanjutkannya. Ketika pada tahun 1993, belajar ilmu jurnalistik. Dari sebuah pelatihan yang diadakan di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya. Tepat di bulan Ramadan. Kebetulan, dua teman karib saya menjadi panitia pelatihan tersebut.
Kala itu, saya belum kuliah. Selepas lulus SMA tahun 1990, saya tak ikut tes masuk perguruan tinggi-- waktu itu Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN)-- karena faktor ekonomi. Ibu tak punya uang untuk biaya kuliah. Ibu bilang, jika mau kuliah, saya harus bekerja. Cari duit sendiri.
Saya kemudian bekerja serabutan. Yang hasilnya tak seberapa. Saya pernah membantu tukang dinamo, menjaga gudang di perusahaan rekanan di Ajinomoto Mojokerto, sales buku, mengecat trotoar, dan masih banyak lagi.
Lha, pas nganggur itu, saya diajak ikut pelatihan jurnalistik. Bukan sebagai peserta, tapi golongan romli alias rombongan liar, hehe.. Jadinya, saya duduk paling belakang. Materi-materi dari narasumber saya dapatkan setelah acara selesai. Jika ada yang tersisa, saya bawa pulang. Jika tidak ada, saya pinjam materi dari panitia untuk saya fotokopi.
Dari secuil ketrampilan itu, saya memberanikan diri menulis. Koran pertama yang memuat tulisan saya adalah Surabaya Post. Setelah beberapa artikel yang saya tulis ditolak. Honor pertama yang saya terima Rp 15 ribu. Masa itu, uang segitu cukup untuk mentraktir nasi bebek 7 orang.
Saya makin keranjingan menulis. Topiknya beragam. Politik, sosial, budaya, dan pendidikan. Bekal pengetahuan menulis saya dapatkan dari membaca koran. Juga berdiskusi dengan teman-teman yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Saban pagi, saya membaca 3-4 koran. Saya memanfaatkan kebaikan teman yang berlanggan koran dan membolehkan saya membacanya. Kadang juga saya membacanya di lobi hotel bila sedang mengikuti acara seminar, diskusi, dan lainnya .
Saya juga makin aktif membaca buku. Buku apa saja. Yang terbanyak saya pinjam dari seorang teman bernama Rosdiansyah. Dia peneliti Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP). Alumni Institute of Social Studies (ISS), Den Haag, Belanda. Dari dia, saya dikenalkan pemikiran Michel Foucault, Jurgen Habermas, Asghar Ali Engineer, Erich Fromm, dan masih banyak lagi.
Kala itu, saya tergiang cerita Fariz RM, penyanyi dan komposer hebat. Dia mengaku melahap banyak buku dari berbagai kategori untuk bisa menciptakan lagu-lagu yang hits. Lagu-lagu karya Fariz RM pun abadi, di antaranya. Sakura, Barcelona, Nada Kasih, Hasrat & Cinta, Kurnia dan Pesona, Diantara Kata, dan Interlokal.