Refleksi Idulfitri dalam Budaya Konsumerisme
Menjelang Takbir: Saat Kita Menyadari Idulfitri Telah Lama Dijajah Diskon
Hari ini, langit menjelang malam takbir akan segera menyelimuti negeri. Udara terasa berbeda, di satu sisi penuh haru, namun di sisi lain penuh kesibukan. Takbir sebentar lagi akan menggema dari menara-menara masjid, merambat dari lorong-lorong perumahan hingga ke jalan-jalan desa. Tapi pertanyaan yang menggelitik batin adalah: sudahkah hati kita menyiapkan ruang untuk gema itu masuk, ataukah telah lebih dahulu dipenuhi dengan hiruk-pikuk belanjaan?
Sebab sejak pekan pertama Ramadan, suasana yang semestinya hening dan penuh tadabbur telah dilanggar oleh iklan-iklan penuh warna. Diskon besar-besaran ditawarkan, hamper mewah dikirim, dan daftar belanjaan terus diperbarui. Marketplace tak henti mengingatkan kita bahwa Ramadan adalah "waktu terbaik untuk checkout." Gema promo terdengar lebih awal dari gema takbir. Bahkan, di banyak rumah, suara yang paling ditunggu bukanlah pengumuman hisab-rukyat, melainkan notifikasi "paket Anda sedang dikirim."
Kini, menjelang malam takbir, sebagian dari kita justru sampai pada penghujung Ramadan dalam keadaan letih, bukan karena banyaknya rakaat malam atau puasa yang penuh perjuangan, melainkan karena sibuk mencocokkan warna baju keluarga, mengemas hampers untuk rekan kerja, dan memastikan stok makanan cukup untuk tamu esok hari.
Ramadan ditutup bukan dengan ketenangan hati, tetapi dengan tekanan sosial yang tidak kasat mata. Pameran gaya dan paket kiriman menjadi simbol status. Kita tak lagi berpuasa dari dunia, tapi justru menyiapkan dunia sebanyak-banyaknya untuk menyambut hari suci. Dan ketika gema takbir datang, banyak yang mendengarnya sambil menyusun parcel terakhir atau menyetrika gamis baru. Takbir menjadi latar, bukan pusat.
Malam ini adalah malam kemenangan, tapi tampaknya kita telah banyak berperang bukan dengan hawa nafsu, melainkan dengan algoritma. Lelah bukan karena berjihad melawan diri, tetapi karena berkompetisi dalam belanja. Inilah yang patut direnungkan: apakah kita benar-benar kembali ke fitrah, atau justru terjerat dalam budaya yang membuat Idulfitri kehilangan substansinya?
Fitrah yang Dibungkus Seindah Paket Kiriman
Idulfitri berarti kembali. Kembali ke kejernihan, ke kesucian hati, ke spiritualitas yang utuh. Namun hari ini, konsep 'kembali ke fitrah' seakan direduksi menjadi sekadar 'kembali tampil baru.' Fitrah tidak lagi dipahami sebagai kondisi batin, melainkan sebagai simbol visual: baju baru, rumah yang dipercantik, atau sajian mewah di meja tamu.
Tak terhitung berapa juta paket dikirim dalam dua pekan terakhir Ramadan. Masing-masing dibungkus rapi, disertai ucapan manis, tapi apakah di balik bungkus itu tersimpan makna? Apakah kita memberi karena ingin berbagi, atau karena takut dianggap tak mengikuti budaya? Apakah kita menerima dengan syukur, atau merasa itu bagian dari perlombaan yang tak berkesudahan?