"Motret mah pakai feeling saja. Kalau sudah terasa pas, langsung klik saja!" Entah sudah berapa kali saya mendengar perkataan itu selama hidup. Tidak emak-emak, tidak bapak-bapak, sepertinya semua memiliki pandangan yang sama tentang hal ini. Apalagi kalau di tangan mereka ada smartphone kelas "dewa' yang punya mega piksel besar.
Bukan sekali dua, saya yang sekarang ini mengelola bisnis digital marketing agency, LB Digital dan sudah memotret berpuluh tahun diajari oleh emak-emak atau bapak-bapak tak dikenal untuk menghasilkan foto yang bagus. Ujungnya, biasanya ditutup dengan statement yang seperti itu.
Padahal, biasanya ketika hasilnya diperlihatkan, saya hanya tersenyum simpul. Kalau sedang mood, saya akan menjelaskan kesalahan-kesalahan dalam foto dan bagaimana foto itu bisa dibuat lebih baik. Maklum, belasan tahun memegang kamera, baik DSLR atau Full Frame kadang gerah muncul kalau melihat foto yang sekedar hasil dari mengandalkan besaran "mega piksel" dan keyakinan bahwa "motret itu hal mudah dan cukup pakai feeling saja".
Biasanya foto hasil jepretan mereka yang mengatakan "feeling yang pas akan menghasilkan foto yang baik" jelek dan tidak enak dilihat. Kesalahannya terkadang sederhana, seperti fotonya miring, penempatan obyek yang tidak pas, bagian obyek terpotong, dan seterusnya.
Mata saya gatal melihatnya.
Apakah ini salah feeling?
Saya sendiri setelah lama menekuni dunia fotografi, tidak menyalahkan seratus persen pernyataan itu. Pada akhirnya, mayoritas fotografer atau penggelut dunia fotografi mengandalkan "feeling" atau "intuisi" mereka ketika sedang memotret. Tidak ada yang salah dengan pernyataan itu sebenarnya.
Namun, yang kurang pas itu sebenarnya ada pada pemahaman bahwa "feeling/intuisi" itu anugerah dari Tuhan yang diberikan kepada semua orang dalam porsi yang sama. Mereka juga berpikir bahwa kedua kata ini didapat cuma-cuma dan dipungut dari jalanan.
Padahal, kenyataannya tidak demikian.
Feeling atau intuisi dalam fotografi tidaklah gratis (dan banyak profesi lainnya) dan porsinya tidak sama di setiap orang. Feeling atau intuisi biasanya didapat dari ribuan jam pelatihan, ribuan jam pengalaman lapangan, ribuan jam memahami teori, dan ribuan kesalahan dan koreksi yang sudah dilakukan.
Bayangkan saja, seorang anak ABG yang belum pernah belajar memasak menggunakan "feelingnya" untuk membuat sayur asem dan dibandingkan dengan seorang ibu rumah tangga, yang setiap hari memasak untuk keluarganya. Kira-kira, manakah hasil makanannya yang lebih enak?