Mudik Virtual di Era Digital: Masih Perlukah Pulang ke Kampung Halaman?
Oleh Dikdik Sadikin
RAMADAN menjelang lebaran selalu identik dengan tradisi mudik. Jalanan yang padat, stasiun yang ramai, dan terminal yang penuh sesak menjadi pemandangan khas yang berulang setiap tahun.
Bagi sebagian orang, mudik adalah perjalanan sakral. Di sana lah kesempatan untuk kembali ke kampung halaman, menyambung silaturahmi dengan keluarga, dan meneguhkan identitas diri.
Namun di era digital ini, tradisi tersebut mulai bergeser. Kini, teknologi memungkinkan kita untuk 'pulang' hanya dengan satu sentuhan layar.
Video call, WhatsApp, hingga Zoom kini menjadi penghubung utama bagi mereka yang tidak bisa mudik.
"Selamat Idulfitri, mohon maaf lahir batin," bisa disampaikan melalui ponsel dengan latar belakang wajah keluarga yang tersenyum di layar.
Tapi pertanyaannya, apakah itu cukup menggantikan makna mudik yang sesungguhnya?
Mudik: Dulu dan Kini
Dahulu, mudik tidak sekadar perjalanan fisik, tetapi juga sarana untuk melepas rindu yang terpendam berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Ada cerita di balik tumpukan koper, oleh-oleh khas kota, hingga aroma masakan yang sudah ditunggu-tunggu. Kakek yang duduk di beranda menanti anak-cucu pulang, atau ibu yang menyiapkan hidangan terbaik untuk menyambut anak-anaknya. Semua itu bagian dari makna spiritual mudik yang tak mudah tergantikan.
Kini, di tengah kemajuan teknologi, semua terasa lebih instan. Tiket bisa dipesan lewat aplikasi, peta digital mengarahkan jalan tanpa takut tersesat, bahkan rasa rindu bisa 'diredam' dengan obrolan video. Namun, apakah ini mengurangi makna mudik itu sendiri?
