Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mudik Virtual di Era Digital: Masih Perlukah Pulang ke Kampung Halaman?

15 Maret 2025   17:43 Diperbarui: 18 Maret 2025   15:07 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mudik virtual di era digital (Sumber: Kompas.id)

Mudik Virtual di Era Digital: Masih Perlukah Pulang ke Kampung Halaman?


Oleh Dikdik Sadikin

RAMADAN menjelang lebaran selalu identik dengan tradisi mudik. Jalanan yang padat, stasiun yang ramai, dan terminal yang penuh sesak menjadi pemandangan khas yang berulang setiap tahun. 

Bagi sebagian orang, mudik adalah perjalanan sakral. Di sana lah kesempatan untuk kembali ke kampung halaman, menyambung silaturahmi dengan keluarga, dan meneguhkan identitas diri.

Namun di era digital ini, tradisi tersebut mulai bergeser. Kini, teknologi memungkinkan kita untuk 'pulang' hanya dengan satu sentuhan layar.

Video call, WhatsApp, hingga Zoom kini menjadi penghubung utama bagi mereka yang tidak bisa mudik.

"Selamat Idulfitri, mohon maaf lahir batin," bisa disampaikan melalui ponsel dengan latar belakang wajah keluarga yang tersenyum di layar.

Tapi pertanyaannya, apakah itu cukup menggantikan makna mudik yang sesungguhnya?


Mudik: Dulu dan Kini

Dahulu, mudik tidak sekadar perjalanan fisik, tetapi juga sarana untuk melepas rindu yang terpendam berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. 

Ada cerita di balik tumpukan koper, oleh-oleh khas kota, hingga aroma masakan yang sudah ditunggu-tunggu. Kakek yang duduk di beranda menanti anak-cucu pulang, atau ibu yang menyiapkan hidangan terbaik untuk menyambut anak-anaknya. Semua itu bagian dari makna spiritual mudik yang tak mudah tergantikan.

Kini, di tengah kemajuan teknologi, semua terasa lebih instan. Tiket bisa dipesan lewat aplikasi, peta digital mengarahkan jalan tanpa takut tersesat, bahkan rasa rindu bisa 'diredam' dengan obrolan video. Namun, apakah ini mengurangi makna mudik itu sendiri?

Ilustrasi kesibukan di stasiun kereta api saat mudik (Ilustrasi: Image Creator Microsoft Bing)
Ilustrasi kesibukan di stasiun kereta api saat mudik (Ilustrasi: Image Creator Microsoft Bing)

Antara Kemudahan dan Kehilangan Makna

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun