Menulis untuk berbagi dan bercerita. Sering memandang langit di malam hari sekadar untuk bertasbih, mengagumi benda yang bertebaran di langit, rembulan dan bintang-bintang-Nya.
Dik, Mudi, Mudik, Mantap Jiwa...!
Mudik itu asyik. Banyak cerita unik di dalamnya. Mudik itu indah. Banyak kisah mengiringinya. Mudik itu seru. Banyak deru di sekitarnya. Mudik itu melelahkan, tapi ikhlas karena lillah mejalaninya.
Bicara mudik seakan tiada habis untuk diulas. Entah sejak kapan mengenal kata mudik. Yang pasti ada Lebaran, ada mudik. Baik menjalaninya maupun cuma jadi penonton. Lho, kok penonton? Emang mudik sebuah pertandingan? Apa mudik sebuah perlombaan? Menonton mudik itu bagi yang tidak mengikuti aktivitas di dalamnya. Seperti beberapa ucapan saudara atau teman, atau siapa saja yang kebetulan memang sejak lahir hingga dewasa dan berkeluarga tetap di satu kota.
Alias tidak merantau dan kebetulan pula ditakdirkan mendapat pasangan hidup di dalam satu kota pula. Atau bisa juga yang masih single alias jomblo (maaf ya, jangan sensi) karena masih menimba ilmu baik di bangku sekolah/kuliah dan tidak jauh dari rumah.
Tentunya masih serumah dengan orantuanya. Mereka dapat dipastikan tidak pernah terlibat dalam arus mudik. Ya, tentunya hanya melihat lewat saluran televisi, alias jadi penonton.
Tapi itu, bukan hal yang terlalu urgen untuk dibahas. Kita bahas yang mudik saja. Ya,siapa tahu bermanfaat, iya kan...? memakai jargon #Inces Syahrini juga boleh lah. Heee...
Kata orang Sunda mudik itu balik ka lembur/lemah cai sewang-sewangan (kembali ke kampung halaman masing-masing). Pulang kampung untuk bertemu orangtua, dan sanak saudara. Rasa kengen, bahagia, sedih, dan haru adalah bumbu-bumbu yang dirasakan setiap kali mudik.
Saking banyaknya orang yang mudik berbarengan ketika mau Lebaran, ya akhirnya berjejalanlah semua semua di mana-mana. Di ruas jalan mana pun yang dilewati pemudik pasti berjejer kendaraan.
Jalur darat kendaraan pribadi dan umum mengular, di lautan kapal berjubel isinya dengan penumpang dan jalur udara tiket sudah habis di booking. Semua dilalui pemudik. Yang di Utara ke Selatan, yang di Timur ke Barat. Begitu pula arah sebaliknya. Semua berjejal.
Saat Lebaran mendekat, ada yang mendesak dalam dada. Hati berguruh bagai gelombang pasang terus didorong rasa rindu yang membuncah. Pikiran sudah melayang di kampung halaman. Apalagi saat orangtua masih ada. Gelombang rindu sulit terbantahkan. Tiada puisi paling indah selain memandang orang-orang terkasih. Tiada sajak paling sejuk selain memeluk dan mendekap Ayah dan Ibu.
Itulah alasan terkuat dan terhebat saat mudik. Semua rela berdesakkan. Semua rela berjejal untuk antri membeli tiket meski harga meroket. Tak peduli berdiri di dalam moda kendaraan apa pun. Tak peduli menghirup segala jenis bau-bauan dalam kendaraan. Tak peduli bermacet-ria dan berjam-jam meski di ruas jalan tol. Demi apa? Semua demi mudik!
Perjalanan selama mudik bisa menguras energi, pikiran dan tentu saja biaya. Dan itu setiap tahun terjadi. Kapok? Tidak tentumya. Karena dalam mudik banyak hikmah. Karena mudik intinya bersilaturahim. Dan bersilaturahim tentun dianjurkan dalam agama Islam.
Saat di jalan, panas dan debu mejadi satu. Hujan dan keringat kadang menyatu. Gelap dan terang sudah bukan penghalang. Yang dipikul dan ditenteng terasa ringan. Semua kalah oleh keindahan berkumpul bersama keluarga. Makan ketupat dengan sayur opor, ulen dengan sambal goreng kentang atau bebeye*). Kadang ada gelak tawa saat tangan yang bersemangat masuk ke dalam kaleng biskuit terkenal itu, dikira kue manis kering yang katanya terbuat dari gandum utuh yang tumbuh hanya di daerah empat musim, ternyata isinya ranginang (Sunda)/rengginang!
Emang kenapa dengan ranginang? Apa salah dia. Toh dia terbuat dari beras ketan yang banyak tumbuh di negeri ini. Di alam kaya raya yang iklimnya tropis. Emang beras ketan 'gak kalah nikmat dari gandum? Bagi saya ranginang so delicious and marvelous! Delicioso!
Kadang beberapa saudara suka bagi-bagi rezeki atau uang sebagai tanda suka cita. Kapan lagi berkumpul dengan keluarga, mungkin itu alasannya. Dulu tidak populer kata angpau. Adanya sih uang sedekah. Gak pake amplop juga. Langsung saja kelihatan jumlah angkanya. Duitnya juga lepek, gak kayak sekarang, bisa ditukar dulu di bank dengan lembaran yang masih gres dan uang kertasnya masih keras sebelum dibagikan.
Saat mudik, tak ayal rumah orangtua menjadi penuh. Apalagi jika berasal dari keluarga besar. Orangtua zaman dulu rata-rata tak mengenal program KB (mungkin sosialisasinya tidak segencar sekarang) yang cukup dengan dua anak saja.
Keluarga zaman dulu banyak yang beranak belasan. Maka ketika anak-anaknya yang berada di luar kota saat mudik membuat seisi rumah tumplek. Tak heran bila anak, menantu, cucu, dan cicit tidur menggelar tikar dan kasur di tengah rumah.
Berdesak-desakkaan tidak hanya dirasakan saat di kendaraan dan di perjalanan, tetapi sesampainya di rumah pun demikian. Tapi semua berkah dan indah. Semua melepas tawa dan canda. Semua melihat senyum yang terukir di wajah ayah-ibu.
Jika malam tiba, semua tidur berdesak-desakkan. Kadang tak mendapat selimut, paling cuma sarungan, esok harinya semua berdandan dan siap untuk bersilaturahmi untuk mengunjungi paman, bibi, ua (Sunda)/uak. Semua memakai baju terbagus, baju Lebaran/baju dulag (Sunda). Terkadang ada saudara yang pamer dengan gelang dan anting serta kalung emasnya. Semua menikmati sajian kue-kue khas lebaran di kampung halaman.
Peuyeum ketan, ulen, ranginang, bugis, kue ali, opak**), yang paling keren biasanya kue semprit. Itu pun jika digigit bisa merontokkan gigi susu anak-anak atau kakek-neneknya alias keras. Beda dengan sekarang, semua kue tiruan (bikin sendiri tentunya) atau asli impor dari belahan dunia mana pun bisa kita sajikan di meja hidangan. Semua jenis kue produk pabrik manapun bisa tersedia di meja tamu. Asal ada uang tentu saja.
Tapi yang terkadang membuat hati tertegun jika mudik lebaran adalah saat di mana kita mengenang masa kecil. Saat kita belajar mengaji dengan guru ngaji yang tak pernah menerima sepeser pun uang bayaran. Mereka semua ikhlas mengajarkan ilmu agama di surau atau masjid dekat rumah.
Kita terbata-bata mengucapkan a-ba-ta-tsa. Hingga hafal surat-surat pendek dan lancar mengaji. Hafal bacaan sholat dan ilmu agama lainnya. Semoga mereka yang telah memberikan ilmu agama dan telah tiada menjadi para syuhada dan ditempatkan di surga-Nya.
Keseruan saat mudik lainnya adalah di saat jika bertemu dengan teman bermain saat kecil. Kita bisa saling mengungkap cerita masa lalu. Saat berenang di sungai jernih yang kini hilang jernihnya karena limbah rumah-rumah yang kian padat serta limbah dari pembuangan pabrik yang identik dengan kemajuan kota. Terkadang diselipi gelak tawa ketika berbagi pengalaman masa kini yang sudah jauh berbeda.
Zaman memang terus berubah. Seiring dengan gaya hidup, kecuali yang memang benar-benar memaknai Lebaran itu hari yang fitri. Hari kembalinya diri menjadi bersih kembali bagi yang benar-benar mengisi bulan Ramadan dengan bermacam ibadah. Tarawih, tadarus, sedekah, I'tikap dan tentunya berzakat fitrah. Aa Gym bilang Ramadan itu ibarat kepompong. Ini bukan kepompong tentang persahabatan dalam syair lagu.
Tapi Ramadan itu ibarat kepompong yang mengubah diri seorang muslim sejati. Kita ibaratnya seekor ulat berbulu yang identik dengan gatal dan mejijikkan, kemudian ketika melalui vase kepompong Ramadan mengisi masa itu dengan segala amal ibadah, berbuat kebaikan dan benar-benar berserah memohon rahmat, ampunan, memohon dijauhkan dari panasnya api neraka dan mengejar Laitatur Qadr.
Lantas, saat Lebaran tiba diri kita berubah dan menjelma menjadi pribadi yang indah, bak seekor kekupu yang mewah dengan sayapnya yang penuh warna. Menjadi pribadi yang saleh serta bersih hati. Kembali fitri.
Lebaran bukan saatnya untuk berpesta pora, bukan untuk hura-hura, bukan untuk merusak vase kepompong Ramadan. Sebaliknya kita jadikan vase Ramadan itu menjadi bekal diri di sebelas bulan kemudian untuk tetap menjaga kualitas diri sebagai muslim yang akan kembali pada-Nya, kapan dan di mana pun saatnya tiba.
Jika kedua orangtua sudah tiada, yang ada hanya pusara tertutupi tanah merah. Kerinduan kita akan berupa doa-doa dalam ziarah. Sambil mengenalkan kepada anak cucu, bahwa manusia semua akan kembali kepada pemilik-Nya. Wallahu a'lam bish-shawabi. []
Selamat menikmati mudik 2019!
Cianjur, 28 Ramadan 1440-H/ 2 Juni 2019
*) bebeye= makanan berupa campuran beberapa tumisan. Seperti sambal goreng kentang dan tumis sayuran (buncis atau lainnya) yang disatukan lalu dihangatkan.
**)Berapa jenis penganan khas di Sunda saat Lebaran.