Tradisi Munggahan dan Kramasan
Day 1
Dari angka satu pasti akan menucul angka berikutnya dan sampailah pada angka 365. Ya, satu tahun sudah terlewat dan kita akan kembali berjumpa dengan tamu yang amat istimewa, salah satu bulan mulia, yaitu bulan Ramadan. Meskipun belum ada ketetapan tentang jatuhnya tanggal 1 Ramadan, aura Ramadan telah banyak terasa di hati ummat Islam.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, adalah pribahasa yang sering kita dengar. Peribahasa ini memiliki makna bahwa setiap daerah dan masyarakat memiliki kebiasaan, budaya, dan tradisi masing-masing.
Di daerah Cilegon sendiri memiliki beberapa tradisi dalam rangka menyambut kedatangan bulan suci Ramadan. Tradisi ini masih hidup dan dilakukan oleh masyarakat secara umum. Tidak ada keterangan kapan tradisi ini mulai muncul dan hidup di masyarakat Cilegon.
1.Munggahan
Tradisi "Munggahan" adalah salah satu budaya yang masih hidup di tengah masyarakat Cilegon. Secara etimologi, munggah berarti naik. Maksud dari istilah munggah adalah bahwa kita sebentar lagi naik pada bulan Ramadan. Bulan di mana semua amal kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya.
Untuk membiasakan melakukan kebaikan di bulan Ramadan, sebelum datangnya bulan suci ini, masyarakat diimbau untuk berbagi dengan sesama saudara satu kampung. Tidak ada penekanan dari para tokoh masyarakat di masyarakat, semua dilakukan secara individu dan tidak bersifat mengikat/wajib.
Pada hari terakhir bulan Sya'ban atau Rowah, para ibu akan memasak lebih dari biasanya. Mereka membuat menu makanan yang istimewa. Menu yang mereka masak terdiri dari nasi dan beberapa lauk layaknya menu pada saat seseorang mengadakan pesta/hajatan.
Masakan ini kemudian dikemas dalam sangku plastik. Pada lapisan paling bawah, ditempatkan nasi. Lalu, nasi ditutup dengan daun pisang. Di atasnya diletakkan beberapa lauk yang umumnya terdiri dari sayuran dan ikan. Sangku yang berisi nasi dengan lauk-pauk itu dinamakan besek/berkat. Tidak ada keharusan setiap rumah membuat berapa besek/berkat. Semua dikembalikan pada kemampuan dan keikhlasan masing-masing.
Saat Magrib tiba, seperti biasa kaum bapak menjalankan salat berjamaah di masjid-masjid, surau, atau musalla. Setelah salat berjamaah selesai, masyarakat sekitar akan berduyun-duyun mengantarkan besek/berkat yang telah mereka persiapkan. Besek-besek ini kemudian dikumpulkan menjadi satu dan dikelilingi oleh seluruh jamaah.
Salah satu orang (tokoh masyarakat) kemudian memimpin doa dengan harapan semua yang telah dilakukan menjadi catatan amalan baik para pembuatnya. Setalah doa dipanjatkan, pengurus masjid akan membagi besek tersebut secara rata.
Besek yang berisi lebih akan dikurangi dan diisikan ke besek yang kurang atau pun besek yang baru. Sehingga semua besek yang ada memiliki kadar isi yang relatif sama.
Hal ini dimaksudkan agar semua warga mendapatkan perlakuan yang sama. Prinsip keadilan sangat kental pada proses kegiatan ini. Keadilan perlu ditegakkan tanpa memandang apa, siapa, dan jabatan di belakangnya.
Setelah semua besek telah memiliki kuantitas dan kualitas sama, besek ini dibagikan pada seluruh jamaah yang hadir. Tradisi munggahan ini memiliki makna yang sangat baik. Budaya ini mengeratkan tali silaturrahim antarwarga, mempertajam rasa empati, mengasah kepekaan dan kepedulian sesama anggota masyarakat, juga mampu mengikis sifat ego dan sombong yang bersarang di hati. Mengakui bahwa sebagai makhluk Allah, kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang harus kita perhatikan dan perlakukan dengan baik.
Berbagi sangat dianjurkan dalam agama Islam. Dalam salah satu hadits disebuatkan, Nabi SAW bersabda, "Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya." (HR At-Thabrani).
Bahkan Nabi memberikan contoh secara nyata. Sebelum Beliau menikmati makanan, Nabi selalu menanyakan, "Apakah kau sudah membagi makanan ini kepada tetangga kita si Yahudi?" kalimat itu terus-menerus Beliau ucapakan hingga Ghulam atau pelayannya mengambilkan makanan tersebut dan memberikannya kepada tetangga.
Seiring pergeseran dan perubahan budaya yang terjadi pada masyarakat Cilegon, istilah munggahan digunakan dalam berbagai bentuk dan penafsiran. sebagai contoh, sekelompok masyarakat mengadakan makan bersama sebelum Ramadan datang dan mereka menyebut kegiatan ini dengan istilah munggahan. Begitu pula kelompok masyarakat lainnya.
Sebenarnya tidak ada larangan dalam menggunakan istilah ini. Semua kembali pada penilaian masing-masing. Namun, di sudut-sudut kampung, tradisi munggahan yang sebenarnya masih ada dan tetap lestari hingga saat ini.
2.Kramasan
Tradisi unik yang juga masih eksis di tengah masyarakat Cilegon adalah "Kramasan". Kita tentu paham arti denotasi dari kramas, yaitu kegiatan mencuci rambut dari kotoran yang menempel padanya. Tradisi ini sangat istimewa karena zaman dahulu, kegiatan mencuci rambut yang disebut "kramas" tidak bisa dilakukan setiap hari. Semua terbentur media dan kesempatan.
Pada era modern seperti sekarang ini, kita bisa melakukan aktivitas ini setiap hari bahkan jika kita mau, kita bisa mencuci rambut beberapa kali dalam sehari. Namun begitu, tradisi kramasan masih dilakukan oleh masyarakat Cilegon hingga saat ini.
Kramasan akan dilakukan masyarakat pada sore hari di hari terakhir bulan Sya'ban/Rowah. Zaman dahulu, kegiatan kramasan dilakukan menggunakan media merang yang telah dibakar. Saat ini kita bisa memilih berbagai macam merk sampo yang diatawarkan oleh para produsen.
Tradisi kramasan sesungguhnya memiliki makna denotasi/sesungguhnya dan konotasi/kiasan. Makna denotasi merujuk pada kegiatan mencuci rambut yang nyata dilakukan oleh masyarakat. Sedangkan makna konotasi merujuk pada analogi atau perumpamaan pada kegiatan mencuci rambut.
Dengan mencuci rambut ini, diharapkan semua kotoran fisik yang ada pada salah satu anggota badan kita ini hilang dan kondisi rambut menjadi bersih dan suci.
Makna kiasannya sendiri adalah bahwa kita pun seyogyanya tidak hanya membersihkan kotoran yang bersifat fisik atau yang tampak oleh mata, tetapi juga membersihkan kotoran atau sifat-buruk yang mungkin masih bersarang di hati kita. Sifat buruk yang mungkin masih sering kita miliki adalah sifat iri, dengki, buruk sangka, mengadu-domba, ghibah, riya, dan lain sebagainya.
Dengan membersihkan hati dari sifat-sifat buruk yang kita miliki, ini bermakna bahwa kita sungguh-sungguh dan memiliki niat serius dalam menyambut dan memasuki bulan Ramadan dengan bersih dan suci baik jasmani maupun rohani.
Terlepas dari pemaknaan masyarakat pada kedua tradisi ini (munggahan dan kramasan), kita sebagai umat Islam seharusnya mampu menjadi pribadi yang baik dengan sifat yang baik di mana pun dan kapan pun. Dari paparan di atas, penulis berharap tradisi ini akan tetap lestari di tengah masyarakat Cilegon karena memiliki nilai kearifan lokal yang sangat positif.
Cilegon, 02.04.2022
#Ramadankonsistenmenulis
#Challengedirisendiri