Herry Mardianto
Herry Mardianto Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

TRADISI Pilihan

Mudik

28 Maret 2023   11:01 Diperbarui: 28 Maret 2023   11:18 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mudik
Ayo Mudik/Foto: Hermard

Mengapa kita rela berdesakan antre di stasiun kereta api, terminal, pelabuhan penyeberangan, bandara, bahkan mengalami kemacetan selama berjam-jam di jalan? Apakah mudik benar-benar menjadi peristiwa yang maha penting sehingga layak diperjuangkan dengan segenap keikhlasan menerima "penderitaan"  dalam menempuh perjalanan menuju kampung halaman?

Tradisi mudik sebenarnya tidak hanya dikenal di Indonesia. Di luar negeri pun tradisi mudik dilakukan, meskipun bukan pada momen idul fitri. Tradisi mudik di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 1970-an ketika kota-kota besar tumbuh (Jakarta, Surabaya, Medan, Makasar, Bandung) menyediakan berbagai lapangan kerja. Hal ini menyebabkan terjadinya urbanisasi (besar-besaran) pencari kerja dari wilayah kota kecil, pedesaan, pinggiran, ke wilayah kota-kota besar.

Jauhnya jarak antara desa dan perkotaan (kota besar) menyebabkan para urban tidak setiap saat dapat pulang ke kampung halaman. Nah, momen idul fitri dijadikan tumpuan mudik karena mempunyai keleluasaan waktu (libur/cuti) bersama untuk berkumpul dengan sanak famili dan handai tolan di tempat kelahiran, dimana kita  bertumbuh dewasa.

Mudik oleh sebagian orang Jawa dimaknai sebagai mulik dilik (pulang sebentar), mulih glidhig (pulang kerja), dan mulih udhik (pulang ke sumber air). Dalam KBBI, mudik diartikan pulang ke kampung halaman. 

Tradisi mudik di Indonesia berkaitan erat dengan idul fitri. Artinya, hakikat "pulang"  terkait erat dengan pengertian idul fitri -- kembali ke fitrah, kesucian, dengan meminta maaf kepada keluarga, handai tolan, dan teman sepermainan di kampung halaman sebagai akar tempat bertumbuh. Dunia asal usul tempat seseorang bermula.

Dalam konteks ini, mudik dapat dimaknai sebagai menuju ke udik, pulang ke asal-usul untuk mengingat masa lalu, mensyukuri masa kini, dan menanam harapan untuk masa depan setelah kembali ke fitrah (asalnya).

Dalam perkembangannya, mudik bagi sebagian orang bukan sekadar ajang silaturahmi, tetapi sekaligus sebagai ajang penampilan keberhasilan seseorang selama merantau. Mereka sekeluarga tidak tidur di rumah,  tetapi menginap di hotel berbintang, datang  mengendarai mobil tipe terbaru, ngajak makan bersama ke kafe, dan seterusnya dan seterusnya.

Menuju ke kotamu, Yogyakarta/Foto: Hermard
Menuju ke kotamu, Yogyakarta/Foto: Hermard
Mudik dalam konteks kembali kekampung halaman, memahami sangkan paraning dumadi, memang layak diperjuangkan. Tak peduli dengan hiruk pikuk  kemacetan, gedebyah-nya dana yang dikeluarkan, rasa capek tak tertahankan di sepanjang perjalanan...

Kukira kita akan bersama
Begitu banyak yang sama
Latarmu dan latarku
Kukira takkan ada kendala
Kukira inikan mudah
Kau aku jadi kita
Kukira kita akan bersama

Hati-hati di jalan

Suara Tulus terdengar dari mobil di bahu jalan saat menikmati kemacetan menuju Yogyakarta sebelum lepas dari Tol Cipularang.

Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun