Lulusan Pendidikan Ekonomi. Pernah menjadi reporter, dosen, dan guru untuk tingkat PAUD, SD, dan SMA. Saat ini menekuni dunia kepenulisan.
Ada Prasasti Cinta yang Kandas di Halaman Masjid Agung Lamongan
Sebetulnya, sejarah keberadaan cinta yang kandas ini tak berhubungan langsung sama sekali dengan sejarah bangunan Masjid Agung Lamongan. Namun bukti dari cinta tak sampai ini hanya ada di halaman yang terletak di sebelah barat Alun-alun Lamongan.
Di halaman masjid yang konon tertua di Lamongan, terdapat dua prasasti peninggalan zaman pemerintahan Bupati Lamongan yang ke-3 yaitu Raden Panji Puspokusuma. Dua prasasti itu berupa batu besar pipih yang disebut pasujudan, dan gentong dari batu kapur. Kedua pasang batu dan gentong ini diletakkan terpisah di bagian utara dan selatan pelataran masjid.
Berdasarkan cerita rakyat, alkisah dahulu, Raden Panji Puspokusuma memiliki dua anak kembar yang bernama Panji Laras dan Panji Liris.
Suatu ketika saat keduanya sedang main adu ayam di daerah Wirosobo Kediri, ada dua orang putri yang jatuh cinta saat melihat paras tampan Panji Laras dan Panji Liris.
Kedua putri yang bernama Andansari dan Andanwangi ini begitu ingin menikahi Panji Laras dan Panji Liris. Karena begitu terpikat ketampanan si kembar, orang tua Andansari dan Andanwangi pun lantas mengajukan lamaran ke Lamongan.
Sayangnya, baik Panji Laras dan Panji Liris keberatan karena usia yang masih belum cukup umur. Alih-alih menolak langsung, akhirnya Panji Laras dan Panji Liris mengajukan syarat yang cukup berat. Andansari dan Andanwangi harus membawa dua buah gentong dan dua batu pasujudan. Dua pasang barang ini harus dibawa langsung dengan melintasi Kali Lamong.
Ketika akan melewati Kali Lamong, Andansari dan Andanwangi sempat mengangkat sedikit roknya ke atas. Di saat itulah, Panji Laras dan Panji Liris terkejut saat melihat kaki kedua wanita itu, hingga langsung lari meninggalkan keduanya karena tidak suka. Kejadian ini pun sempat memicu pertikaian antara Kediri dan Lamongan.
Sementara itu, nasib gentong dan batu pasujudan itu hingga kini berada di halaman Masjid Agung Lamongan dan kemudian memiliki nilai filosofi Islami. Wujud gentong diartikan alat untuk pensucian, sedangkan batu pasujadan sebagai alat salat karena bentuknya yang terlihat mirip sebagai alas salat.
Berbeda lagi dengan sejarah pendirian Masjid Agung Lamongan. Masjid ini berawal dari wakaf tanah seseorang yang kerap dipanggil Mbah Yai Mahmoed. Beliau adalah seorang ulama asal Bojonegoro yang telah lama menetap di Lamongan.
Karena tidak memiliki ahli waris, tanah miliknya lantas diwakafkan untuk masyarakat Islam di Lamongan. Ia memercayakan hal ini pada Mbah Kiai Mastur Asnawi di tahun 1908. Pembangunan masjid pun lantas dilakukan saat Lamongan dipimpin oleh Adipati Djojodinegoro.
Content Competition Selengkapnya
MYSTERY CHALLENGE
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Ketemu di Ramadan hadir kembali. Selain sebagai ajang buka puasa bersama Kompasianer, ada hal seru yang berbeda dari tahun sebelumnya. Penasaran? Tunggu informasi selengkapnya!