Semua Orang Meminta Maaf Dalam WAG, Sudah Cukupkah?
Seperti tahun-tahun sebelumnya sejak muncul fasilitas Whats App (WA), menjelang Idul Fitri - saat Idul Fitri - dan beberapa hari setelahnya, Whats App Group (WAG) ramai dengan ucapan selamat Idul Fitri dan permohonan maaf lahir batin. Semua mengirimkan ucapan yang isinya nyaris seragam, dan nyaris tak ada yang membalas ucapan tersebut dengan menulis: Terima kasih atas ucapannya, saya juga mohon maaf lahir batin ya ... bla bla bla.
Contohnya di WAG kantor saya, sebuah ucapan selamat lebaran muncul dari seorang rekan kantor, di bawahnya menyusul ucapan yang sama dari teman kantor lainnya, demikian berturut-turut. Semua meminta maaf, tapi tidak tahu apakah dimaafkan atau tidak, dan mungkin tidak peduli.
Mengirimkan ucapan selamat lebaran dan mohon maaf lahir batin seolah sebuah mekanisme robot. Rutinitas tanpa nyawa. Tinggal kopas lalu kirim ke beberapa WAG dan selesai. Masih bagus kalau dilanjutkan dengan mengirim via japri ke beberapa orang yang dihormati, yang tentunya akan dijawab juga secara personal.
Lalu, apa salah mengirim ucapan selamat lebaran dan permohonan maaf lewat WAG? Bukankah semua orang melakukannya dan tidak mempermasalahkannya? Ya, tentu saja tidak salah. Dunia memang sudah menuju pada era kepraktisan. Kalau bisa ucapan sapu jagad yang ditujukan pada semua orang dikirim satu kali sudah beres.
Seperti misalnya ucapan yang ditulis dalam status medsos, atau status WA, mungkin malah lebih bagus lagi. Satu kali bikin dan kita bisa melihat berapa orang yang merespons.
Jika saya melompat pada beberapa dekade sebelumnya, tatkala era digital belum menjerat kita semua, mengucapkan selamat lebaran dan meminta maaf hanya dilakukan secara langsung. Bertemu muka, berjabat tangan.
Pada orang-orang tertentu, baik yang dekat (dalam satu kota) atau jauh, kita akan rela berlelah-lelah berburu kartu lebaran lalu mengirimkannya melalui pos. Makna personalnya dapet, karena kartu itu dikirim khusus untuk satu orang.
Bahkan banyak juga yang rela berlelah-lelah membuat kartu lebaran sendiri, menulisi dengan ucapan selamat dan maaf yang puitis. Ada kesungguhan yang tulus dalam melakukan semua itu, yang membuat makna Idul Fitri semakin fitri.
Apakah saya membuat ucapan yang saya share ke WAG? Tahun ini tidak. Kalau di WAG kantor, itu sudah diwakili suami saya (kami bekerja di kantor yang sama). Masa iya kami harus kirim ucapan sendiri-sendiri.
Di WAG lainnya juga tidak. Saya hanya berusaha membalas ucapan yang ada, baik di WAG maupun japri. Apakah saya sombong sehingga tidak mau mengirim ucapan? Berasa nggak punya dosa pada siapapun, gitu? Saya pikir tidak sombong ya, buktinya saya membalas semua ucapan yang masuk.
Mungkin saya tidak sombong, mungkin saya hanya rindu. Rindu dengan ucapan personal yang menyentuh hati. Rindu belanja kartu lebaran dan membuat list siapa saja yang harus saya kirimi kartu. Rindu merancang kalimat-kalimat yang indah dan menulisnya di dalam kartu lebaran. Rindu dengan teriakan pak pos yang datang di depan rumah membawa setumpuk kartu lebaran dari jauh. Rindu membuka kartu-kartu dan memandangi gambarnya yang cantik dan lucu.
Ah, ketahuan banget umur tlah beranjak ke barat. Sukanya nostalgia dan mengingat kebiasaan yang lalu-lalu.
Pokoknya begitu. Ada nggak yang sama dengan saya? Menganggap ucapan di WAG itu seperti formalitas belaka? Atau saya yang tidak dapat berlari mengikuti kencangnya arus perubahan zaman? Masih menye-menye berhenti di tahun jadul dan baper sok romansa mikirin kartu lebaran?
Apapun itu, sejatinya kita harus ikhlas terhadap perubahan karena perubahan adalah sebuah keniscayaan. Di kesempatan ini, saya mengucapkan buat seluruh kompasianers, admin Kompasiana, dan pembaca:
Mohon maaf lahir batin, atas segala khilaf yang tak sengaja ditorehkan jemari. Semoga Allah melunakkan hati kita semua untuk mudah meminta maaf, dan mudah memaafkan, aamiin...yra.**