Ketika Ibu-ibu Lebih Suka Membuat Kue Lebaran Sendiri
Kue lebaran di berbagai rumah yang saya datangi relatif sama saja, karena dugaan saya semuanya membeli kue kering, bukan membuat sendiri.
Memang, gambaran seperti itu berdasarkan yang saya temui pada beberapa lebaran terakhir hingga lebaran di tahun 2022 yang lalu.
Tapi, saya menduga pada lebaran tahun ini pun, kondisinya kurang lebih seperti itu lagi.
Soalnya, jenis kue yang tersedia di pasar, termasuk di mal-mal, relatif sama, yakni jenis-jenis yang memang banyak dicari pelanggan.
Beberapa contoh kue favorit tersebut adalah kue nastar, kue putri salju, kue lidah kucing, kue kacang tanah, kue sagu keju, dan kue coklat cornflakes.
Bisa saja pelanggan ingin membeli kue jenis lain, namun produsen tak berani berspekulasi membuat kue jenis lain, takut tidak laku.
Jadi, yang saya temui di banyak rumah, kue lebarannya sama, hanya kemasannya saja yang berbeda-beda.
Ada kue yang punya merek, yang mungkin produsennya sudah berpengalaman dalam bidang usaha kue lebaran.
Banyak pula kue lebaran yang tanpa merek, diduga berasal dari produsen kue lebaran yang berproduksi secara dadakan, memanfaatkan momen menjelang lebaran.
Namun, tak semua kue tanpa merek merupakan kue yang dibuat dadakan. Bagi warga Jakarta, tentu tahu dengan berbagai toko kue kering tanpa merek di Jatinegara yang menjual kue secara kiloan.
Kue tersebut tidak hanya dijual menjelang lebaran, tapi setiap hari gampang didapat. Artinya, meskipun kuenya tak pakai merek, produksinya sudah skala besar.
Bahkan, kue-kue tersebut banyak dibeli pedagang eceran untuk dikemas ulang dalam ukuran sangat kecil, lalu dijual di warung-warung.
Nah, bagi mereka yang sekarang sudah berumur di atas 40 tahun, mungkin bisa membedakan kue lebaran sekarang dengan kue jadul.
Hingga dekade 1980-an, ibu-ibu rumah tangga lebih suka membuat sendiri kue lebaran. Bahkan, ibu-ibu yang kaya pun juga membuat kue lebaran, bukan membeli jadi.
Tak heran, dulu di masing-masing rumah jenis kuenya bisa berbeda. Meskipun, kue-kue lebaran yang favorit ketika itu, tetap gampang ditemui.
Kue jadul dimaksud contohnya adalah kue semprit, kue kembang loyang, kue sapik, kue bolu kering, kue bawang, kacang tojin, kacang gula, kue dari tepung beras, dan sebagainya.
Tapi, karena masing-masing ibu rumah tangga membuat sendiri, kue yang jenisnya sama bisa berbeda rasanya, antara rumah yang satu dengan rumah yang lain.
Saya masih ingat ketika ibu dan kakak-kakak perempuan saya membuat kue lebaran di era 1970-an.
Belum ada oven listrik, sehingga kue dalam loyang dibakar pakai tungku dengan bahan bakar sabut kelapa.
Sabut kelapa itu mengapit dari bawah dan dari atas oven gaya lama itu (setelah bagian bawah dan atas dilapisi dengan seng).
Menurut saya, bau kue jadul sungguh sedap. Rasanya yang lebih alami juga sering saya rindukan, namun sekarang susah dicari.
Waktu yang dihabiskan bisa satu hari untuk satu jenis kue. Membentuk kue pakai tangan dan menaruh di loyang, itu yang makan waktu.
Jadi, bila seorang ibu membuat 7 jenis kue, tentu membutuhkan waktu satu minggu.
Makanya, dulu pada 10 hari terakhir Ramadan, ibu-ibu sibuk di dapur seharian, baik membuat kue maupun membuat hidangan lebaran yang tahan lama seperti rendang daging.
Zaman berganti dan kaum wanita sekarang ini seperti kita ketahui makin banyak yang memasuki lapangan kerja.
Di lain pihak, pelaku usaha kecil yang membuat kue lebaran semakin menjamur. Akhirnya, setelah ditimbang-timbang, jelas lebih praktis bila membeli kue.
Memang, kalau membuat sendiri akan lebih hemat dari sisi biaya, tapi nilai penghematannya tak sebanding dengan waktu dan tenaga yang dihabiskan.