Dear Kompasianer,
Suatu saat aku duduk di sebuah kafe mendengarkan dua orang senior kantor membicarakan rekan kerja muda mereka. "Anak-anak Gen Z itu gampang baper," kata salah satunya.
Aku tersenyum kecil, karena yang mereka sebut "baper" seringkali adalah keberanian mengungkapkan pendapat dan menuntut ruang kerja yang sehat. Generasi ini memang sering disalahpahami, dianggap lemah, cepat menyerah, dan terlalu sensitif. Tapi apakah itu benar?
Gen Z, generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, tumbuh dalam dunia yang sangat berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka adalah digital native---sejak kecil akrab dengan teknologi, media sosial, dan berbagai informasi instan.
Hal ini membentuk karakter mereka menjadi adaptif, cepat belajar, dan memiliki kepekaan tinggi terhadap perubahan sosial.
Sayangnya, label "generasi lemah" sering disematkan hanya karena mereka berani menyuarakan perasaan, menolak budaya kerja toksik, dan menuntut makna dari pekerjaan.
Menurut laporan dari Deloitte (2023), sebanyak 46% Gen Z menolak bekerja di lingkungan yang tidak sesuai nilai pribadi mereka, termasuk soal keberlanjutan dan kesejahteraan mental (Deloitte Global Gen Z and Millennial Survey, 2023).
Berbeda dari generasi sebelumnya yang mungkin lebih "diam" menghadapi tekanan. Gen Z memilih transparansi dan komunikasi terbuka.
Mereka lebih peduli dengan keseimbangan hidup dan kerja (work-life balance), dan itu bukan kelemahan melainkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental.
Menurut Harvard Business Review, generasi ini cenderung lebih sadar akan burnout dan tidak segan mencari bantuan jika dibutuhkan (Harvard Business Review, 2021).
Bukan hanya itu, Gen Z juga dikenal lebih terbuka terhadap keragaman dan inklusi. Mereka cenderung menghargai perbedaan dan ingin bekerja di lingkungan yang setara.