Sedekah: Bukan Amal untuk Kaum Miskin?
Abad VII Masehi, Mekah berubah. Dari wilayah udik pinggiran, menjadi wilayah sibuk menjanjikan. Banyak pedagang sekaligus peziarah dari segala penjuru berdatangan. Mendorong Mekah mengambil peran strategisnya: Sebagai tempat transit sekaligus pusat perdagangan.
Mekah menjadi titik kumpul berbagai manusia dengan latar belakang beragam. Sebagian punya misi dagang sekaligus misi spiritual: Menyembah dewa-dewi yang ditempatkan di sekitar Ka'bah.
Masyarakat Mekah diuntungkan. Terjadi perputaran uang dan barang secara massif. Masyarakat menikmati kelimpahan ekonomi. Mengumpulkan kekayaan dengan mudah. Bisnis berkembang: Menarik uang keamanan, menjual perbekalan dan juga menyewakan tempat untuk menginap.
Kekayaan melimpah yang tak pernah terbayangkan. Melampaui bayangan paling ideal dari masyarakat nomad penggembala. Terjadilah kebingungan : Shock culture.
Kapitalisme mulai menggerogoti nilai-nilai kesukuan yang sudah lama dianut. Badawah--kehidupan nomadik--mulai luntur. Kehidupan yang awalnya diwarnai kesukaran ekstrem. Namun, penuh romantisme dengan tali persaudaraan kuat; dalam waktu pendek berubah.
Muncul orang-orang kaya baru. Hidup sedenter. Menumpuk kekayaan tanpa berbagi. Nilai berubah. Solidaritas kesukuan (ashabiyyah) bertarung mati-matian dengan egoisme individual. Revolusi sosial budaya terjadi tanpa kompromi, tidak bisa mengerem; tak ada rem!
Kondisi tersebut sangat menggelisahkan. Seperti mengoyak padang pasir yang sepi--tak menjanjikan masa depan selain kesuraman--menjadi tempat ingar bingar tak terkendali. Penuh optimisme dengan kelimpahan tapi brutal. Kegersangan spiritual melanda.
Perubahan ini terasa asing dan mengancam. Situasi tersebut dirasakan juga oleh sosok sederhana dan jujur. Al-Amin. Sang pembaharu yang berfikir kritis :Nabi Muhammad SAW-- Disarikan dari buku: Muhammad Prophet for Our Time, Karen Amstrong.
KEMBALI KE ARTIKEL