KOMENTAR
RAMADAN Pilihan

Mencurinya di Halaman Gereja, Menikmatinya di Pelataran Masjid

31 Maret 2024   23:07 Diperbarui: 31 Maret 2024   23:14 1602 11

Ada banyak cerita toleransi yang saya ketahui dan alami. Mulai dari toleransi beragama hingga toleransi dalam hal-hal berbeda lainnya. Maklumlah, ya. Negara kita ini 'kan majemuk. Terdiri atas banyak agama, suku, budaya, dan tradisi. Namun berhubung tulisan ini dibuat dalam rangka Diari Ramadan, tentu saja fokusnya pada sikap toleransi dalam beragama.

Demikianlah adanya. Sebab masyarakat kita majemuk, mau tak mau toleransi merupakan tindakan sehari-hari. Bukan cuma omon-omon dalam tataran idealita dan teori. Pun, tidak selalu berbentuk gerakan besar. Pokoknya normal saja. Semua berlangsung otomatis seperti saat kita bernapas.

Salah satu contoh paling nyata adalah cerita terkait azan. Di Indonesia tak asing lagi kalau dalam sehari semalam terdengar suara azan sebanyak 5 kali. Yang mendengarnya siapa saja. Tidak hanya orang yang beragama Islam. Kerennya, hal itu menjadi sebuah kewajaran. Tidak kemudian menjadi poin pemantik permusuhan antaragama.

Ada pula cerita toleransi dari GIGI. Band yang digawangi Armand Maulana ini punya album religi Islam, sementara gitarisnya (Dewa Budjana) beragama Hindu. Tatkala tur ke pesantren, Dewa Budjana tetap ikut. Pihak pesantren pun menerimanya dengan baik. Mematahkan kecemasan sang gitaris yang sebelumnya tak pernah berinteraksi dengan kaum santri.

Selanjutnya, penyusunan rundown acara-acara kerap disesuaikan dengan waktu shalat. Selama Ramadan pun ada penyesuaian-penyesuaian jadwal masuk untuk anak sekolah dan pekerja kantoran. Jangan lupakan pula, fenomena Perang Takjil yang viral tahun ini, yang sesungguhnya selalu berlangsung tiap Ramadan.

Nah. Kurang apa lagi? Kalau didata satu per satu, bakalan panjang senarai cerita toleransi di negeri ini.

Uniknya, sikap toleransi yang terjadi tak melulu dalam nuansa serius (normal) seperti contoh-contoh di atas. Tak jarang malah ada sikap-sikap toleransi yang kocak. Misalnya ketika teman nonis (bukan muslim) dimanfaatkan sebagai tukang cicip ketika gengs mainnya yang muslim cari takjil sebelum azan Magrib. Kiranya inilah posisi dimanfaatkan yang menyenangkan sekaligus mengandung pesan perdamaian antarumat beragama.

Tentang dimanfaatkan, saya juga pernah dimanfaatkan oleh seorang teman yang beragama Hindu. Tatkala itu dia ingin mencicipi martabak bikinan ibu seorang teman kami. Kulit martabak dan isian sayurannya bisa dia konsumsi, tetapi daging sapinya harus dia sisihkan. Kalau hal ini dilakukannya, tentu dia akan diomeli. Alhasil, dimintanya saya sebagai solusi. Kami duduk di pojokan membongkar martabak. Isian dagingnya saya makan, kulit martabaknya jatah dia. Haha!

Ada pula kisah masa kecil teman saya yang hobi nyolong jambu di halaman gereja. Dia beragama Islam, sedangkan informannya salah satu kawan mainnya yang merupakan jemaat gereja tersebut. Sungguh the real kerja sama antarumat beragama 'kan? Konyolnya mereka menikmati jambu curian itu di pelataran masjid. Kebetulan lokasi masjid berada di belakang gereja. Nah, lho. Apa dosanya enggak dobel tuh?

O, ya. Ada cerita kocak satu lagi. Saya menemukannya di Tiktok. Begini. Ada VT yang berisi wawancara dengan beberapa bocah. Si pewawancara bertanya, "Dosa apa yang pernah kamu bikin saat Ramadan?"

Dengan cengar-cengir salah satu bocah menjawab, "Ikut mengambil takjil gratis dan ikut tarawih."

Yang mewawancarai bingung dan berkata, "Heh? Di mana letak dosanya?"

Si bocah menjawab, "Aku Kristen."

Naaah! Hanya terjadi di Indonesia 'kan? Hehe ...
***

Toleransi memang bukan barang baru di Indonesia. Jadi selain yang telah saya sampaikan di atas, sudah pasti masih amat banyak cerita toleransi di luaran sana. Begitulah adanya. Sesungguhnya cerita toleransi selalu ada, seiring dengan kemajemukan yang melekat pada bangsa Indonesia. Secara natural dari hati.

Jika kemudian muncul riak-riak yang sedikit banyak melunturkan gaya hidup bertoleransi, apa boleh buat? Yang terpenting, mari kembali mempraktikkan gaya hidup tersebut. Demi keutuhan dan perdamaian bangsa.

Bagaimanapun dan sampai kapan pun kita tak bisa menanggalkan gaya hidup bertoleransi. Sebab kenyataannya, kita memang majemuk di segala lini. Itu sebuah fakta yang tak terelakkan.

Demikianlah beberapa cerita toleransi yang saya ketahui. Kalau Anda punya cerita toleransi apa? Yuk, sampaikan di kolom komentar.

Salam.

KEMBALI KE ARTIKEL


Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Laporkan Konten
Laporkan Akun