Intelektualitas yang Terpinggirkan
Esok hari, Jumat, 17 April 2015 adalah hari di mana genap usia Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berusia 55 tahun sejak berdiri pada tahun 1960. Dalam tataran organisasi, usia tersebut bukanlah usia yang masih kecil, tetapi (seharusnya) sudah sangat matang. Barangkali asumsi kecenderungannya adalah organisasi matang-stagnan-menurun. Matang berarti ketika usia sebuah organisasi sudah menginjak 55 tahun, pastilah sudah mengalami berbagai macam dinamika dan tentunya pergantian kepemimpinan. Namun, nampaknya terjadi stagnansi atau sebuah kondisi “jalan di tempat” dalam konteks arah gerakan, sehingga kualitas para kader nya pun cenderung menurun. Kualitas dalam hal ini adalah kualitas intelektual sebagaimana yang menjadi basis kader PMII, yaitu mahasiswa. Adalah sebuah ke-percuma-an ketika menjadi mahasiswa tetapi tidak serta merta mengembangkan potensi intelektual nya.
Beberapa minggu terakhir ketika berdiskusi bersama sahabat-sahabat PMII Purwokerto, ada penekanan bahwa PMII adalah organisasi kader. Persoalan massa (jumlah kader/orang) penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengembangkan organisasi beserta mesin penggerak nya (kader). Dengan menyebarnya struktur kepengurusan ke berbagai daerah, sebagai perwujudan wadah organisasi mahasiswa dalam mewarnai gerakan mahasiswa, semestinya banyak inovasi baru yang menjadi hasil gerakan mahasiswa. Basis kampus agama yang memang tidak bisa dipungkiri lebih ‘bersahabat’ dengan balutan agama (Islam). Kampus-kampus umum nampaknya mengalami persaingan yang cukup ketat dalam hal gerakan. Selain atmosfer gerakan yang lebih universal, kampus umum juga memiliki karakteristik gerakan yang tidak terlalu berdasar ke-Islam-an.
Dewasa ini, Islam menjadi sebuah isu yang berhembus kencang karena adanya “pencatutan” agama dalam nama sebuah kelompok teroris yang mengatasnamakan agama, tetapi substansi nya malah ingin menghancurkan bukan hanya satu agama, tetapi bahkan mungkin agama-agama lain. Hal ini membuat orang akan sedikit berpikir ulang ketika mendengar organisasi atau kelompok yang berembel-embel Islam. Orang akan menjadi sensitif ketika membicarakan Islam. Ini menjadi sebuah hal yang ironis ketika Indonesia menjadi sebuah negara dengan mayoritas masyarakat beragama Islam, tetapi banyak juga Islam-Islam yang ‘beredar’. Tentunya Islam yang diusung PMII adalah Islam yang Ahlussunah Wal Jama’ah layaknya ideologi kandung yang tercantumkan dalam Nahdlatul Ulama (NU).
Hal menarik dalam refleksi Hari Lahir (Harlah) PMII Ke-55 ini adalah intelektualitas mahasiswa yang cenderung terpinggirkan. Sudah bukan menjadi barang yang tabu jika PMII dan mungkin organisasi lainnya terlahir atas latar belakang iklim politik di masanya. Arus gerakannya pun dimaksudkan untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan (policy) yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini, PMII menjadi salah satu elemen yang berperan penting dalam mengambil peranan. Sepertinya ada satu hal yang, entahah, tidak menjadi perhatian serius, atau memang sama sekali tidak diperhatikan. Bahwa ketika PMII saat ini menjadi gerakan yang dimotori oleh mahasiswa, maka ada berbagai macam mahasiswa dengan latar belakang disiplin ilmu yang berbeda. Semisal, hukum, ekonomi, politik, informatika, peternakan, pertanian, kesehatan, teknik nuklir, dan lain sebagainya. Ini yang sekiranya menjadi perhatian serius saat ini ketika orientasi arah kaderisasi seharusnya lebih menunjukkan bagaimana mahasiswa melihat isu secara menyeluruh, bukan lagi sekedar apa-apa isu politik. Ketika berbicara isu yang dikritisi, selalu isu politik yang menjadi ujungnya. Inilah yang mungkin belum menjadi hal menarik yang mampu memikat mahasiswa di bidang ilmu paling tidak eksakta (kedokteran, kesehatan, MIPA, dan yang lainyya). Organisasi ektrakampus selalu diidentikkan dengan hal-hal politik, padahal kalau mau dilakukan pengembangan minat dengan kemasan kaderisasi nonformal bisa menjadi daya tarik tersendiri untuk mahasiswa. Kebanyakan ketika kaderisasi formal dilakukan, ada banyak yang berpartisipasi, tetapi ketika seiring berjalannya waktu sangat sedikit yang sampai finish. Lumrah memang dalam seleksi alam sebuah organisasi. Namun setidaknya ketika organisasi bisa menjaga dan merawat kadernya itu adalah sebuah pencapaian yang tidak buruk.
Sensitifitas akan isu politik memang tetap harus dilakukan, tetapi kecenderungan nya adalah mudah termakan dalam isu politik itu. Saat Era Orde Baru, organisasi ekstra bahkan dilarang dan mahasiswa diperintahkan untuk fokus belajar. Sekarang, ketika kran kebebasan (reformasi) dibuka, yang terjadi adalah kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Bukan hanya dari masyarakat, tetapi juga para pejabat yang ada dalam pemerintahan/abdi negara. Tak heran memang ketika moral pejabat bobrok, korupsi merajalela, serta kepentingan masyarakat diabaikan. Karena memang para pejabat yang sekarang duduk di sana adalah tadinya rakyat juga, hanya saja lebih beruntung/memilih jalan yang berbeda untuk tidak menjadi rakyat, tetapi “atas nama rakyat” yang tidak mencerminkan rakyat. Jangan sampai mahasiswa hanya menjadi ‘alat penyalur’ politik kelompok tertentu. Bagaimana pun kepentingan rakyat memang harus dibela, tetapi yang dibela itu rakyat yang mana. Bukankah kita sudah mendapat pelajaran berharga ketika negara-negara di Timur Tengah ‘hancur’ karena konflik yang intinya saling serang, padahal sama-sama satu tanah air. Artinya, kekritisan mahasiswa menjadi tidak berguna jika sampai melakukan tindakan yang hanya menjadi alat politik kelompok tertentu yang haus akan kekuasaan, disadari atau tidak.
KEMBALI KE ARTIKEL