KOMENTAR
RAMADAN Pilihan

Kenangan Jarik, Sarung, dan Bersepeda di Bulan Ramadan

2 April 2023   01:40 Diperbarui: 2 April 2023   01:46 991 12


Ramadan adalah bulan berkah yang bisa membawa berjuta kenangan bagi siapa saja. Kenangan saat sahur, saat berbuka, saat tarawih di masjid, bahkan saat siang hari. Terlebih bagi anak-anak yang baru belajar berpuasa.

Menjalani puasa sehari penuh tentu bukan hal yang mudah bagi anak-anak, terutama bagi yang baru belajar. Menahan godaan segarnya es cincau, legitnya gulali, atau gurihnya kerupuk sambal, menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi ajakan bermain di halaman dan berkejar-kejaran bersama teman sebaya di saat libur sekolah yang sangat menguras tenaga.

Kenangan-kenangan masa kecil yang indah itu tidak akan pernah bisa terlupakan. Terlebih saat bulan Ramadan kembali hadir. Saat kita menjalani ibadah di bulan yang sama tetapi dengan kondisi yang selalu berbeda setiap tahunnya.

Dulu, sewaktu masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar, jaman itu belum ada mukena khusus untuk anak-anak. Pada waktu itu jika anak perempuan ingin salat di masjid atau musala terdekat, yang digunakan adalah kain panjang atau jarit milik ibunya. Kalaupun ada yang memakai mukena pasti milik orangtuanya sehingga tampak kebesaran dan harus dipasang peniti di dagu agar terlihat rapi.

Saya pernah mengalami masa itu untuk beberapa Ramadan, sebelum akhirnya memiliki mukena sendiri. Mungkin juga hanya saya dan teman-teman di sekitar tempat tinggal kami yang melakukan hal itu, dikarenakan kondisi ekonomi orangtua kami yang belum mampu membelikan mukena atau karena memang belum ada yang jual mukena khusus untuk anak-anak. Apapun itu, toh semua telah berlalu. Hanya kenangan indah yang masih membekas dan menghias memori saya.
 
Suatu hari di bulan Ramadan, bersama teman sebaya, saat menjelang azan Magrib kami sudah berbondong-bondong pergi ke masjid. Berbekal selembar kain panjang yang digunakan sebagai mukena dan selembar lagi digunakan untuk sajadah, kami berangkat dengan penuh sukacita. Tiada rasa malu atau minder karena tidak memiliki mukena, yang ada hanya semangat untuk mengikuti salat berjamaah di masjid.

Sesampainya di sana, kami menggelar sajadah. Dengan rapi kami mengatur saf, sambil bergantian mengambil wudu. Masih terbayang jelas, usai berwudu kami saling bergantian memasangkan mukena bagi teman yang lain.

Salah satu sisi pendek jarit diletakkan di bagian kepala seperti memakai kerudung, lalu disematkan kedua bagiannya di bawah dagu dengan peniti agar rambut tak terlihat. Ujungnya kami biarkan menjuntai untuk menutup tangan saat bersedekap. Lalu, bagian tengah kain kami ikat di pinggang, dari kedua sisi yang berlawanan kami ambil sebagian untuk diikat menutupi tubuh. Sedangkan sisi pendek yang lain terjuntai ke bawah menutupi kaki.

Entah, siapa dulu yang mengajarinya. Saya hanya ikut-ikutan memakai dengan cara yang sama karena semua teman perempuan yang salat juga mengenakan kain panjang sebagai pengganti mukena yang belum kami miliki.

Kalau orangtua kami tidak punya kain panjang sebagai pengganti, beberapa teman menggunakan dua sarung sebagai mukena atasan dan bawahannya. Cara memakainya sama dengan teman laki-laki saat memakai sarung model ninja. Atau bapak-bapak saat kedinginan jaga pos ronda. Bisa dibayangkan?

Yaitu dengan mengikat dua ujung sarung yang berbeda di belakang kepala. Lalu, sisi kain sarung yang lubang dibuka selembar ditarik ke atas hingga menutupi kepala dan tubuh. Bedanya, kalau untuk mukena ditarik lebih banyak agar wajahnya terlihat.

Ah, indahnya masa-masa itu. Masa-masa di mana kami tak pernah memikirkan beban atau tugas untuk diselesaikan. Masa-masa di mana kami hanya memikirkan main, main, dan main. Ya, dunia anak-anak adalah dunia bermain.

Satu lagi yang masih teringat jelas, saat saya duduk di kelas 6 SD menjelang lulus. Hari itu, usai makan sahur dan salat di masjid, kami berniat jalan-jalan pagi menuju jalanan protokol untuk melihat orang-orang menyalakan petasan. Mukena kecil telah kami miliki, tidak lagi menggunakan jarit.

Dikarenakan masih merasa segar usai bersantap sahur, kami lalu merencanakan bersepeda melihat calon sekolah baru. Kami memang akan lulus dan melanjutkan ke SMP Negeri pilihan, tetapi kami belum tahu letaknya dan bagaimana harus sampai ke sana jika diterima nantinya.

Akhirnya, setelah mengambil sepeda angin, kami menyusuri jalanan menuju SMP Negeri 12 yang terdekat. Jaraknya tidak lebih dari 1Km, sesampainya di sana masih pagi dan udara masih segar. Kami lalu berniat menuju SMP Negeri 19 yang agak jauh. Jaraknya sekitar 5Km.

Di tengah perjalanan, rasa haus mulai terasa. Antara luapan gembira dan tenaga yang keluar untuk mengayuh sepeda membuat tubuh mulai butuh cairan pengganti. Namun, karena kami berlima puasa semua, tak ada satu pun yang berniat membatalkan puasa.

Entah, karena mereka malu atau memang masih kuat melanjutkan puasa, tak ada satu pun yang membahas haus ingin minum. Mungkinkah hanya aku yang merasakan karena kelelahan?

Sekolah yang kami tuju sudah terlihat pintu gerbangnya. Kami berhenti sesaat di depan pagar. Senang sekali rasanya, karena sebentar lagi pasti teman-teman mengajak pulang. Aku bisa istirahat dan tak membatalkan puasa.

Namun, salah seorang teman mengajak kami melanjutkan bersepeda hingga ke Pantai Kenjeran, jaraknya masih jauh. Kira-kira masih 8Km lagi. Padahal, tak seorang pun dari kami yang membawa uang.

"Bagaimana bisa masuk? Kita nggak ada yang bawa uang." Saya beralasan.

"Kita hanya lihat di depannya saja," jawabnya.

Hal itu disambut kata setuju oleh teman-teman yang lain. Hanya saya yang tidak setuju.

"Tapi masih jauh, Kenjeran itu jauh," tegas saya lagi.

"Dekat kok. Aku sudah pernah ke sana. Depan itu lho belok kiri, sudah sampai." Gayanya sok tahu.

Jarak tempuh dari rumah kami ke Pantai Kenjeran sekitar 13Km. Sedangkan ke SMP Negeri 19 hanya 5Km. Berarti masih harus mengayuh sepeda 8Km lagi. Dan itu dibilang sudah dekat.

"Kalo kamu sudah nggak kuat pulang aja. Kami mau melanjutkan bersepeda," kata salah seorang yang melihat aku kelelahan.

"Aku lupa jalan pulang, aku belum pernah lewat sini," jawabku.

"Kalo gitu kita istirahat saja dulu. Gimana?"
Akhirnya, kami istirahat sesaat untuk memulihkan kondisi tubuh. Setelah merasa cukup kami melanjutkan lagi bersepeda hingga depan lokasi wisata Kenjeran.

Benar saja, di sana kami berhenti tak lama, hanya sekitar lima menit. Sama sekali tak sesuai dengan jarak yang telah kami tempuh dengan bersepeda.

Kini, kalau pas lewat jalanan yang dulu kami lewati dan ingat peristiwa itu, saya jadi pingin bilang,
"Sotoy, lo! Depan itu belok kiri, Iya, masih 8Km lagi tauk! Haha."

Apa boleh buat, perjalanan telah diawali. Sepeda terlanjur dikayuh. Maka pulang adalah sesuatu yang menggembirakan.

Panas mentari yang mulai terik tak dihiraukan lagi. Sepeda kami kayuh agar sampai di rumah sebelum mentari kian tinggi. Melalui rute yang berbeda, kami mencari alternatif jalan terdekat.

Alhamdulillah, petualangan kami hari itu berakhir dengan berbagai kesan. Kami sampai di rumah tepat pukul 12 siang. Di mana matahari sedang panas-panasnya dan kami dalam keadaan berpuasa.

Mungkin, jika salah satu dari kami membawa uang saku, pasti kami akan berhenti sesaat untuk membatalkan puasa dengan sekadar membeli minum atau es tebu di pinggir jalan. Namun, karena tak ada uang sama sekali, maka puasa kami masih bisa diteruskan.

Sesampainya di rumah saya langsung mandi. Setelah itu tengkurap di lantai untuk mendinginkan tubuh. Antara panas dan haus yang bercampur hingga tak bisa dirasakan lagi kondisi tubuh ini.

Jika bukan tubuh anak-anak, mungkin saat itu bisa saja terjadi serangan stroke. Ketika tubuh terasa panas sekali langsung diguyur air. Sebab hanya itu satu-satunya cara mendinginkan badan selain minum, tapi itu akan membatalkan puasa.

Nostalgia Ramadan yang tak terlupakan. Akan menjadi kenangan indah dalam hidup. Meskipun beberapa dari kami telah berpulang menemui Sang Khalik.

Terimakasih atas petualangan indah hari itu, Kawan. Terimakasih telah memberi pengalaman indah dalam hidup. Semoga Allah menerima semua amal ibadahmu. Teriring Al Fatihah untukmu di sana. Aamiin.

KEMBALI KE ARTIKEL


Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Laporkan Konten
Laporkan Akun