Pantun Ramadan dalam Jejak Sastra Nusantara
Tanpa terasa, pelaksanaan ibadah Ramadan sudah mencapai pertengahan bulan alias sudah mencapai hari ke-13 atau 14, tergantung kapan seseorang pertama kali melaksanakan puasa. Banyak cara bisa dinyatakan dalam menunjukkan kebahagiaan menjalankan ibadah Ramadan, termasuk saat menanti Idul Fitri di akhir Ramadan, salah satunya dengan pantun.
Pantun merupakan salah satu karya sastra berbentuk puisi Indonesia (Melayu) yang berasal dari bahasa Minangkabau yaitu patuntun, yang berarti penuntun.
Dalam penulisannya, pantun terikat dengan aturan dimana tiap bait (kuplet) biasanya terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b). Pantun memiliki rima atau sajak dengan pola yang khas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa setiap bait pantun terdiri atas empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran. Baris ketiga dan keempat merupakan isi. Sampiran dan isi tidak perlu berhubungan.
Sebagai karya sastra, mulanya pantun menjadi tradisi di kalangan masyarakat Melayu, namun kemudian berkembang ke berbagai masyarakat lainnya di Nusantara, salah satunya adalah masyarakat Betawi.
Pada masyarakat Betawi, pantun sering digunakan sebagai penyampaian pesan dalam acara-acara adat. Hal ini terlihat dalam pantun yang disampaikan secara berbalas di acara palang pintu pernikahan Betawi. Pada acara ini, pantun digunakan sebagai syarat yang diajukan oleh mempelai wanita dalam menerima pihak mempelai pria.
Menariknya, meski disampaikan dalam acara formal, seringkali pantun masyarakat Betawi berisikan kata-kata lucu dan tidak taat asas (a-b-a-b). Bahkan kerap pula dijadikan guyonan untuk dibilang cakep seperti yang disampaikan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah terpilih asal Jawa Barat, Komeng, ketika manggung di salah satu acara stand up comedy.
"Orang Betawi itu kalau mau dibilang cakep gak pakai ke salon, gak pakai operasi plastik. Dia cukup pantun. Pantun aja udah dibilang cakep," ujar Komeng
"Nih saya contohkan, ke Ciputat beli kacang panjang," ujar Komen lagi
"Cakep!!!," komentar para penonton, serentak tanpa dikomando
"Nah, itu kan ...," celetuk Komeng dengan gaya khasnya, diikuti ketawa serempak para penontonnya
Selain masyarakat Melayu dan Betawi, banyak anggota masyarakat lainnya yang suka berpantun. Beberapa alasannya adalah pantun bisa digunakan untuk mengasah diri dalam bertutur kata dengan santun. Di samping itu, pantun juga mempunyai keindahan bahasa dan isi yang padat dalam susunan bait yang singkat serta dapat menyampaikan maksud dengan singkat.
Sejalan dengan pelaksanaan ibadah Ramadan, lewat pantun, kita bisa menyampaikan rasa syukur karena masih diberi kesempatan untuk menjalani Ramadan, bulan yang penuh rahmat. Juga bisa digunakan untuk saling meminta maaf pada saat berakhirnya Ramadan.
Berikut ini sederet pantun tema Ramadan versi saya yang mungkin dapat menjadi referensi dalam menyampaikan rasa syukur dn pesan kepada sanak keluarga, sahabat dan teman:
Jalan-jalan ke kota Medan
Jangan lupa mampir ke jalan Angkasa
Salam bahagia di bulan Ramadan
Semoga kita selalu sehat dalam berpuasa
Pergi ke Bogor membeli talas
Jangan lupa membeli gula
Bulan puasa nggak boleh malas
Ayo semangat mengejar pahala
Hari Senin hari Selasa
Saatnya bekerja di Jakarta
Kuucapkan selamat berbuka puasa
Untuk saudara dan sahabatku tercinta
Ke Antam membeli emas
Pulangnya ke pasar membeli ikan
Meski puasa membuat lemas
Tarawih dan mengaji jangan dilupakan
Berolahraga lah sesuai usia
Loncat tinggi sampai terlempar
Jangan jadikan puasa sia-sia
Hanya menahan haus dan lapar
Tempat hiburan adanya di dufan
Pergi kesana bersama ibu Iriana
Mari kita saling bermaafan
Agar puasa kita sempurna
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bermaafan kita lebih dahulu
Makan ketupat kemudian
Berkendara setir sendiri
Lampu merah harus berhenti
Bulan Ramadhan bersihkan diri
Idul Fitri sucikan hati