Perbaiki Puasa Ramadanmu Apabila Ingin Sukses Puasa Media Sosial
Di bulan Februari lalu, saat suasana pemilihan presiden (pilpres) sedang ramai-ramainya, saya perhatikan beberapa orang teman saya selalu uring-uringan atau terlihat kesal wajahnya setiap kali melakukan scrolling di media sosial. Tidak jarang terlontar makian saat matanya menatap layar ponselnya.
"Saya kesal saja setiap kali membaca komentar si A, ngakunya dari lembaga survey tapi partisan. Komentarnya selalu menjelek-jelekkan paslon yang tidak didukungnya," ujar seorang teman saya ketika ditanya kenapa terlihat kesal setiap kali membaca informasi dari media sosial (medsos).
"Sebenarnya sih gak apa-apa kalau si A itu terang-terangan mengaku sebagai pendukung paslon tertentu. Tetapi dia selalu menolak bila dikatakan mendukung paslon tertentu dan lebih senang disebut profesional, tidak berpihak," ujarnya lebih lanjut
"Profesional Ndasmu!!!," gerutunya kemudian
Saya hanya tersenyum mendengar keluhannya dan kemudian berbisik kepadanya "mungkin kamu lelah dan dipenuhi perasaan tidak menyenangkan saat bermedia sosial".
Ia hanya diam saja ketika mendengarkan perkataan saya. Saya pun mencoba memahami perasaan sang teman yang tak bisa dipisahkan dari medsos.
Sebenarnya bukan hanya teman-teman saya saja yang lekat dengan medsos, banyak masyarakat Indonesia lainnya yang kerap tidak dapat dipisahkan dari medsos karena telah terbukti memudahkan kehidupan mereka, seperti untuk berbelanja, berinteraksi dengan orang lain, hingga mencari teman.
Medsos juga dapat digunakan untuk bisa berkomunikasi jarak jauh dengan mudah dan murah. Bukan hanya itu, medsos juga dapat digunakan sebagai sumber informasi, tempat ekspresi diri, membantu komunikasi tanpa mengenal tempat, dapat dijadikan peluang bisnis, mengisi waktu luang, dan membangun jaringan (networking).
Data dari We Are Social, tercatat ada 139 juta identitas pengguna medsos di Indonesia pada Januari 2024 atau setara 49,9% dari total populasi nasional.
Data tersebut juga memperlihatkan bahwa dari seluruh pengguna internet di Indonesia yang berusia 16-64 tahun, mayoritas atau 90,9%-nya tercatat memakai Whatsapp. Instagram menempati posisi kedua dengan proporsi pengguna 85,3%, diikuti Facebook 81,6%, dan TikTok 73,5%. Kemudian yang menggunakan Telegram ada 61,3%, dan X (dahulu Twitter) 57,5%.
Di balik manfaatnya, penggunaan medsos secara berlebihan ternyata bisa memuunculkan dampak negatif sepetti memicu perasaan cemas, depresi, dan kesepian hingga menyebabkan kecanduan bermedia sosial.
"Kalau elo merasa lelah, sebaiknya puasa media sosial dulu deh. Rehat sejenak dari media sosial, siapa tahu dapat lebih banyak manfaat daripada memaksakan diri untuk bermedia sosial," saya mencoba menasihati teman tersebut
"Kebetulan sebentar lagi kan bulan Ramadan. Elo bisa puasa Ramadan, sekaligus menahan diri untuk tidak bermedia sosial untuk sementara waktu," tambah saya saat itu.
Saya kemudian menyampaikan pesan dari sebuah situs dakwah yang baru saja saya baca mengenai tujuan seorang Muslim berpuasa. Disana disebutkan bahwa tujuan puasa Ramadan adalah melatih diri seorang Muslim agar dapat menghindari dosa-dosa di hari yang lain di luar bulan Ramadan. Kalau tujuan tercapai maka puasa berhasil. Akan tetapi, jika tujuannya gagal maka puasa tidak memiliki arti apa-apa.
"Nah, jadi di bulan Ramadan, elo bisa berpuasa, bukan hanya untuk melatih diri menghindari dosa-dosa dan mendapatkan berkah Ramadan, tetapi elo juga bisa berlatih puasa di media sosial," saran saya.
"Kalau puasa elo bener, maka puasa elo di media sosial juga bakalan bener. Elo gak bakalan uring-uringan lagi setiap kali membaca pesan di media sosial. Elo gak bakalan ngegibah. Elo juga gak gampang ngeshare informasi yang elo gak tau kebenarannya," saran saya lagi.
Beristirahat dari kehidupan medsos membantu meningkatkan kualitas hidup. Menyendiri sementara dari kehidupan medsos membantu melindungi privasi dan meningkatkan fokus pada kehidupan sehari-hari, begitu pesan yang kerap saya sampaikan kepada banyak rekan kerja yang terlihat cemas setiap kali berkomunikasi.
Ingat, selalu meng-update kehidupan sosial di kanal pribadi memang tidak merugikan. Tapi penting untuk tidak membiarkan semua kegiatan atau hal-hal penting diposting di medsos.