Adakah yang Kurindukan dari Kampung Halamanku Bernama Jakarta?
Beberapa waktu lalu ada joke yang berbunyi, "Mau pulang ke kampung halaman, tetapi lupa halaman berapa."
Sungguh, ini sebenarnya yang terjadi pada diri saya. Jika ada orang yang menanyakan asal saya, biasanya hanya saya jawab, "Saya lahir dan bertumbuh di Jakarta."
Makam kedua orang tua juga di Jakarta. Ayah dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta Selatan, Ibu dimakamkan di TPU Pondok Ranggon Jakarta Timur. Sebenarnya Ibu telah memiliki "lahan makam" di San Diego Hills Kerawang Jawa Barat, namun Ibu memiliki keinginan kuat untuk dimakamkan di DKI Jakarta sehingga akhirnya beliau dimakamkan di TPU milik Pemprov DKI Jakarta.
Saya kelahiran Jakarta Selatan yang usia 3 tahun pindah ke Jakarta Pusat. Saat remaja pindah ke Jakarta Timur yang bersisian dengan Jakarta Pusat (Cempaka Putih) dan Jakarta Utara (Kelapa Gading), kemudian SMA di Jakarta Selatan. Pernah meninggalkan kota Jakarta beberapa tahun karena belajar di luar negeri. Oh ya, barangkali itulah saat saya merindukan kota Jakarta yang penuh dinamika, kreativitas serta keberagaman yang mengasyikkan. Di luar negeri saya tinggal di kota yang sunyi, dimana jam 5 sore kegiatan bisnis sudah berhenti, tempat hiburan beroperasi hanya saat akhir pekan dan restaurant buka hanya saat jam makan siang dan malam. Sangat kontras dengan kehidupan Jakarta.
Sesungguhnya selama di Jakarta saya sangat jarang menghadapi kemacetan yang selama ini sering dikeluhkan oleh banyak orang. Barangkali karena saya tinggal di pusat kota (walaupun wilayah Jakarta Timur, namun jarak ke Jln Thamrin, Monas dan Istana Negara relatif dekat), sehingga saat orang banyak terkena macet saya sudah tiba di rumah. Selain itu karena aktivitas dan pekerjaan saya tidak menuntut rutin jam kantor.
Saya tidak kenal dekat tetangga-tetangga. Ini yang sangat saya syukuri karena toleransi kami begitu tinggi. Tidak ada ghibah kasak kusuk atau nyinyir tetangga dalam urusan pribadi. Tidak ada gangguan keributan atau barang belanjaan olshop yang nyasar ke tetangga. Tidak ada tetangga yang tiba-tiba bertamu dan mengajak ngobrol tidak berguna. Namun kami saling menghargai. Saat keluarga kami berduka karena Ibu dan keponakan meninggal dunia, mereka meluangkan waktu berkunjung dan berdoa dengan keyakinan masing-masing. Saat kami ada acara khusus, kami saling pengertian jika ada mobil-mobil tamu parkir di depan rumah kami.
Jakarta kampung halamanku, masih banyak kutemui orang-orang baik disini. Ramadan tahun ini saya saksikan betapa makmurnya masjid perumahan tempat tinggal kami. Menyediakan makanan dan sahur dengan dana yang tidak sedikit. Saat perayaan Kamis, Jumat Agung dan Paskah loudspeaker masjid tidak terdengar keras. Kami saling menghargai, karena hanya sekitar 300 meter gereja yang cukup besar sedang merayakan hari besar mereka juga.