KOMENTAR
RAMADAN

Mengapa Tidak Menjadi Takwa Setelah Berpuasa?

14 Mei 2019   13:33 Diperbarui: 14 Mei 2019   14:08 325 2

KAJIAN SUBUH | Allah Swt telah menurunkan Al-Quran kitab suci yang tidak ada keraguan didalamnya sebagai petunjuk bagi bagi orang-orang yang bertaqwa. Makna itu merupakan terjemahan ayat ke-2 dalam surat Al-baqarah.

Yang dimaksud kitab dalam ayat tersebut adalah Al-Quran bukan kitab-kitab suci yang lain yaitu Taurat, Injil dan Zabur. Kitab suci Al-Quran yang diturunkan pada 17 ramadhan diwahyukan kepada Muhammad Rasulullah Saw dari sisi Allah Swt melalui Malaikat Jibril yang tidak ada keraguan sedikitpun didalamnya.

Al-Quran sebagai petunjuk (hudan) bagi orang-orang bertaqwa telah menjadi zat yang menyatu dalam sifatnya Al-Quran. Orang-orang itu adalah mereka yang berbuat taat kepada Allah, orang-orang beriman yang takut kepada siksaan Allah, dan mereka menjauhkan segala perbuatan maksiat dan kemusyrikan terhadapa Allah Swt.

Sehingga orang-orang beriman yang mengimani Al-Quran dan upaya menjadikannya sebagai petunjuk untuk mencapai derajat taqwa, maka termasuklah salah satunya menjalankan perintah puasa.

Sepanjang ramadhan dalam banyak kesempatan dan hampir semua ceramah ataupun tausiyah yang disampaikan bermuatan ketaqwaan yang dikaitkan dengan puasa. Seakan-akan predikat itu sangat mudah diperoleh hanya karena berpuasa.

Benarkah dengan berpuasa lalu serta merta kita menjadi orang bertaqwa?

Untuk mencapai taqwa bukanlah hal yang gampang, proses menuju taqwa dengan memiliki sifat-sifat ketaqwaan itu sendiri melalui berpuasa butuh komitmen melakukan serangkaian ibadah yang lain juga, tidak cukup hanya berpuasa saja.

Sebagaimana dipahami oleh sebagian besar umat Islam (masyarakat umum), puasa itu adalah perbuatan menahan dari makan, minum, dan syahwat (bersenggama) dengan niat yang ikhlas karena Allah. Puasa seperti ini seperti dimaksudkan dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 183,... "diwajibkan atas kamu berpuasa.... 'semoga menjadi orang yang bertaqwa".

Pada ayat tersebut dijelaskan tentang perintah wajib berpuasa bagi orang beriman karena didalam berpuasa terkandung hikmah membersihkan jiwa, menyucikannya serta membebaskannya dari endapan-endapan yang buruk dan akhlak yang rendah. Dengan harapan, semoga, boleh jadi, karena dengan berpuasa kamu termasuk golongan orang-orang bertaqwa.

Tetapi ada redaksi lain yang bermakna puasa itu bukan hanya menahan diri dari makan, minum, dan jimak. Puasa tersebut sebagaimana dilakukan oleh Maryam ibunda Isa as. Ketika Alquran menjelaskan puasa Maryam. "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Maha Pemurah, maka aku takkan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini (QS, Maryam:26)

Yang dimaksud dengan puasa pada redaksi (shauman) pada ayat tersebut adalah diam atau puasa tidak bicara. Berarti puasa bukan hanya tidak makan, minum, jimak tapi juga puasa dari bicara. Bicara hal-hal yang tidak bermanfaat dalam agama apalagi bicara yang dapat membatalkan puasa.

Beberapa redaksi yang berbeda tentang puasa dalam Al-Quran ini menandakan bahwa berpuasa itu merupakan ibadah yang tidak berdiri sendiri namun ibadah 'paket.' Artinya berpuasa itu berarti tidak melakukan makan, minum, jimak, menjaga perkataan, diam daripada membicarakan hal-hal buruk, juga melaksanakan ibadah shalat terutama shalat tarawih.

Namun agar benar-benar menjadi taqwa, lalu mereka harus berpuasa yang bagaimana?

Puasa yang dapat mengantarkan kita menjadi taqwa sehingga kita memperoleh hikmah yang besar dalam ramadhan yakni pengampunan Allah Swt, maka puasa yang kita jalankan adalah termasuk didalamnya mendirikan shalat tarawih (qiyamul lail).

Sebab percuma saja berpuasa bila tidak diikuti dengan mendirikan shalat tarawih. Karena keistimewaan ramadhan adalah adanya perintah shalat tersebut sebagai paket puasa. Jika tidak shalat tarawih diluar bulan ramadhan, hanya ada didalam bulan yang mulia ini dan tidak dapat pula digeser pada bulan lainnya.

Sedangkan puasa ramadhan yang mestinya dilakukan pada bulan tersebut tetapi masih dapat digeser. Sebagai bukti bahwa bagi orang-orang yang uzur (sakit, hamil, musafir) dan tidak mampu berpuasa di dalam ramadhan maka mereka dapat menggantinya di luar ramadhan atau bulan-bulan lain. (lihat Al-baqarah 183-184)

Penjelasan ayat 184 tersebut bagi yang membuka puasa mereka karena alasan di atas, maka wajib bagi mereka untuk mengganti sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Misalnya pada bulan Maulid, boleh? Boleh.

Kita ada undangan maulid atau kenduri, atau Imam mengirimi kita kenduri kita bisa mengatakan, mohon maaf saya sedang berpuasa ramadhan, padahal saat itu bulan Maulid misalnya. Itulah bukti bahwa puasa ramadhan dapat digeser.

Tetapi alangkah gilanya jika ada orang yang mengatakan mereka ingin shalat tarawih padahal bulan Maulid. Jika ada yang demikian maka orang yang melakukan hal itu sudah salah minum obat "salah jiep ubat".

Namun begitu saya heran dengan model-model puasa beberapa orang dalam kehidupan sehari-hari yang kita lihat. Mereka rajin berpuasa namun tidak melakukan shalat, bagaimana puasa seperti ini dapat menuju taqwa?

Saya selama beberapa hari ini banyak undangan berbuka puasa bersama, namun tempatnya bukan di masjid, tetapi di warung-warung pinggir sungai. Saat begitu waktu berbuka, orang-orang asik dengan makan dengan porsi yang sangat besar. Makanan di meja begitu banyak tersedia, ikan bakar, ayam, dan ntah apalagi.

Sementara di warung tersebut tersedia mushalla (tempat) yang hanya berukuran 2,5 m x 5 m. Ukuran yang kecil namun agak memanjang. Saya perhatikan orang shalat magrib itu hanya 4-5 orang saja dan beronde-ronde. Sedangkan yang lain setelah makan asik dengan merokok, lalu setelah itu  nyalakan mobil dan pulang. Tidak ada shalat magrib.

Jadi tidak akan bernilai puasa orang yang tidak melakukan shalat apalagi shalat wajib termasuk tarawih. Sebab amalan pertama yang diperiksa di hari perhitungan nantinya adalah shalatnya. Bila shalat benar dan baik maka amalan yang lain mengikuti. Tetapi bila tidak ada shalat, maka puasa itu "ijak lam krueng, hana pat puduek." (mengalir ke sungai, tidak ada tempat).

Maka puasa yang dapat mengantarkan kita kepada taqwa sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-baqarah ayat 183 adalah puasa yang paripurna.

Melaksanakan shalat yang didalam shalat termaktub nilai-nilai ibadah lain. Puasa tanpa shalat hanya sia-sia saja. Sebab puasa tidak dapat menggugurkan ibadah shalat sedangkan didalam shalat terkandung nilai puasa dan syahadat.

Artinya bila puasa, zakat dan haji dapat gugur pelaksanaannya, maka ibadah shalat sungguh tidak ruang dan waktu untuk boleh meninggalkannya. Maka dengan demikian melakukan puasa berarti tidak meninggalkan shalat termasuk tarawih. Wallahua'alam. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Laporkan Konten
Laporkan Akun