Cahaya Ramadan di Beranda Kakek
Malam pertama Ramadan turun dengan sunyi yang berbisik, membawa sejumput rindu yang mengendap di sudut jendela kenangan. Rafi, bocah kota yang terbiasa dengan gemerlap dan kecepatan hidup, kini terpaksa menapaki jalan yang berkelok ke sebuah desa kecil---tempat kakeknya menunggu dengan kisah-kisah yang lapuk dalam ingatan, namun tetap segar dalam makna."Kenapa kita harus ke sana, Yah?" tanyanya dengan nada enggan, menatap gedung-gedung kota yang perlahan menjauh di balik jendela mobil.
Ayahnya tersenyum, seolah angin yang melewati sawah-sawah di luar ikut membawa ketenangan. "Karena ada sesuatu yang lebih indah daripada gemerlap Ramadan di kota."
Sesampainya di rumah kayu yang berlumur kenangan, Rafi mendapati dirinya disambut oleh aroma kayu basah dan senyum nenek yang lebih hangat dari bara di tungku dapurnya. Kakeknya, dengan rambut putih seperti awan yang terombang-ambing di langit senja, menyambutnya dengan tatapan penuh kisah.
Fajar pertama Ramadan merambat perlahan di cakrawala. Suara azan subuh dari surau kecil menyelinap ke dalam rumah, menggetarkan udara yang dingin dan menyusup ke hati yang enggan beranjak.
"Makanlah, Nak, agar puasamu kuat," ujar nenek, menyodorkan sepiring nasi dengan ikan asin goreng yang harum.
Rafi menatap piring itu. Tidak ada roti isi cokelat, tidak ada ayam goreng krispi, hanya nasi, ikan asin, dan secuil sambal. Ia menelan ludah, merasa ada jurang yang lebar antara meja makan di kota dan meja kayu di rumah kakek. Namun, ada sesuatu yang berbeda di sini---sebuah kehangatan yang ia belum bisa pahami.
Hari-hari berlalu, dan di bawah mentari yang memanggang tanah, Rafi mulai melihat Ramadan dari sudut yang berbeda. Ia menyaksikan kakeknya duduk di beranda, bibirnya tak pernah lelah merapal ayat-ayat suci. Ia melihat neneknya membungkus ketupat kecil untuk dikirim ke rumah tetangga, wajahnya penuh ketulusan. Puasa di sini bukan sekadar menahan lapar---ia adalah pelajaran tentang berbagi, tentang kesederhanaan yang terasa lebih mewah daripada segala yang pernah Rafi miliki.
Menjelang magrib, kampung kecil itu bermandikan cahaya lampu minyak. Meja makan sederhana dihiasi kolak pisang dan gorengan, namun anehnya, Rafi merasa ini lebih nikmat dari restoran mewah di kota.
"Bagaimana puasamu, Nak?" tanya kakek di sela suapan terakhir.
"Lapar... tapi menyenangkan," jawab Rafi, suaranya mengandung sesuatu yang baru---pemahaman.
Malam-malam Ramadan di kampung adalah nyanyian yang dikisahkan angin kepada dedaunan. Tarawih di surau kecil tidak semegah masjid di kota, tetapi di sini, setiap orang mengenal satu sama lain. Tidak ada yang terburu-buru pulang, karena di sini, Ramadan bukan sekadar ibadah, tetapi perjumpaan yang penuh makna.
Tiga minggu terasa begitu cepat. Ramadan yang dulu ia pikir hanya tentang hidangan berbuka dan keseruan di kota, ternyata lebih dari itu. Ramadan adalah tentang cahaya yang meresap ke dalam hati, tentang doa yang mengalir tanpa tergesa, tentang tawa yang tidak dibuat-buat.
Suatu senja yang syahdu, Rafi menatap kakeknya yang tengah duduk di beranda, matanya menelisik langit yang berangsur jingga.
"Kakek... kenapa Ayah ingin kita Ramadan di sini?" tanyanya.
Kakeknya tersenyum, senyum yang seperti mengerti rahasia langit. "Karena di sini, Ramadan bukan sekadar ritual. Ia adalah cahaya yang menyinari jiwa."
Ketika koper-koper mulai dikemasi menjelang kepulangan, Rafi menatap rumah kayu itu sekali lagi. Ada sesuatu yang tertinggal di sana---sepotong dirinya, sepotong hatinya, yang kini mengerti bahwa Ramadan bukan hanya tentang berbuka dan sahur, tetapi tentang perjalanan menemukan makna dalam keheningan dan kebersamaan.
Sebelum memasuki mobil, Rafi menarik tangan ayahnya dan menatapnya dengan mata penuh harap. "Yah... bolehkah kita lebaran di sini juga? Aku ingin lebih lama bersama Kakek dan Nenek."
Ayahnya menatapnya sesaat, lalu tersenyum dan mengangguk. "Tentu, Nak. Keluarga adalah rumah, dan rumah adalah tempat kita merayakan kebahagiaan."
Di beranda, kakek tersenyum, sementara angin sore membawa aroma tanah basah dan doa-doa yang berpendar di udara.
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.
Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025