KOMENTAR
RAMADAN Pilihan

Percakapan Mba-Mba XXI dengan Cleaning Service di Pintu Masuk Bioskop

1 April 2023   22:50 Diperbarui: 1 April 2023   22:58 1066 1

"Mahal!"
"Iyalah, karna dia bayar uang sewa. Kamu sudah tanya?"
"Belum."
"Ih, jangan begitu! Itu namanya ngejudge orang."

Saya sedang menunggui Alinea main sambil menggendong Aira yang tengah tidur sore di depan bioskop mall di Makassar.

Percakapan yang kamu baca tadi adalah hasil curi dengar saya. Bagaimana tidak, suara mereka bernada tinggi. Tidak ada siapa-siapa di situ kecuali kami berlima, satunya satpam bioskop. Tapi dia tidak angkat bicara masalah jalangkote di mall yang harganya dua kali lipat dibandingkan harga jalangkote di pinggir jalan depan mall.

Di lantai yang sama dengan bioskop mall itu, di salah satu sudut memang ada lima orang berjualan takjil.

Takjilnya persis sama dengan apa yang bisa kita temukan di pinggir jalan selama Ramadan. Ada es buah, es cendol, jalangkote, bakwan, dan risol. Hanya saja, mereka berjualan di mall dan tentu saja harganya berbeda.

Nah, di lain waktu, saya tersentak mendapati sms Mama yang mengomentari Alinea yang tidak mau menyentuh jilbab pemberiannya.

"Kenapa anakmu tidak mau berjilbab? Begitu hasilnya kalau kamu tidak pernah membacakan dia ayat Kursi."

Sebenarnya ada banyak percakapan-percakapan menghakimi orang yang saya alami. Tentu saja, saya juga tidak pernah absen untuk menjudge orang, walaupun itu hanya di dalam hati.

Di banyak pertemuan dengan teman-teman, baik teman main atau teman kantor, kami malah sibuk mengomentari dan menghakimi kehidupan orang lain---lalu menertawainya.

Padahal masalah terbesar dari mengomentari dan menghakimi kehidupan orang lain adalah kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang mereka alami.

Si Cleaning Service mungkin tidak tahu bahwa untuk berjualan di situ para penjaja takjil di mall harus membayar sewa atau iuran yang tidak murah ke pihak mall. Belum lagi, mereka harus bersiasat dengan harga bahan makanan yang terus naik. Sementara pembeli maunya harga murah.

Mama barangkali tidak paham bahwa penolakan Alinea untuk tidak langsung mengenakan jilbab pemberiannya di usianya yang waktu itu jelang 3 tahun adalah hal wajar bagi toddler. Anak-anak di usia seperti itu memang sering kali menolak sesuatu yang diberikan karena hal tersebut adalah sesuatu yang baru bagi mereka. Ditambah cara Mama yang agak memaksa. Bukan karena saya yang tidak pernah membacakan ayat Kursi di ubun-ubunnya. Hah!

Dilihat dari sudut pandang psikologi, manusia ternyata selalu ingin jadi superior dibandingkan dengan manusia lainnya. Kita tidak pernah ingin terlihat menyedihkan atau memalukan dibanding orang lain. Makanya, ketika kita mengomentari dan menghakimi kehidupan seseorang selalu ada rasa puas di dalam diri bahwa hidup kita jauh lebih baik.

Hal ini diperparah dengan adanya media sosial di mana manusia berlomba menunjukkan sisi terbaik dari dirinya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain.

Kita tentu paham betul bahwa mengomentari dan menghakimi orang lain bisa jadi su'udzan. Ada banyak referensi yang menyebutkan bahwa hal ini dilarang sebab merupakan perbuatan tercela. Sementara dari sudut pandang tasawuf, kelakuan ini merupakan penyakit hati yang bisa merusak diri kita tanpa disadari.

Tidak makan dan minum selama 30 di bulan Ramadan mungkin hanya sementara, tapi semoga dengan begini hasrat dan nafsu kita terlatih untuk menahan; termasuk menahan diri untuk tidak mengomentari kehidupan orang lain.

Makna Ramadan yang mungkin tidak kita sadari dari laku asal kita.

KEMBALI KE ARTIKEL


Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Laporkan Konten
Laporkan Akun