KOMENTAR
RAMADAN Pilihan

Ramadan Tahun Ini yang Istimewa

7 April 2023   08:02 Diperbarui: 7 April 2023   08:20 716 1

Ramadan di tahun ini, 1444 H bertepatan dengan 2023 M sangat istimewa karena bertepatan dengan 2 ibadah agama lain.

Rabu, 22 Maret 2023 bertepatan dengan Hari Raya Nyepi seharian penuh, malam harinya umat Islam mulai melaksanakan Salat Tarawih perdana.

Seperti yang sudah diketahui bersama, awal mula Ramadan bukan mulai pukul 00.00, melainkan saat masuk waktu Magrib.

Umat Islam di Bali tidak patah semangat melaksanakan ibadah salat tersebut meskipun tidak diperkenankan menyalakan lampu dan pengeras suara.

Hari ini, Jumat, 7 April 2023, bertepatan dengan Jumat Agung bagi umat Nasrani sebagai peristiwa wafatnya Yesus Kristus.

Tahun ini benar-benar spesial karena 3 umat beragama merayakan hari keagamaan dalam rentang waktu yang berbarengan.

Keunikan ini tidak bisa ditemukan di negara-negara dengan dominasi agama tertentu, apalagi negara dengan paham radikal seperti Afganistan.

Ada pesan yang penting yang sebenarnya berulang-ulang di balik barengnya hari keagamaan 3 agama ini.

Apa itu? Ada pesan toleransi dan kuatnya hubungan antar umat beragama yang seharusnya sudah diamini seluruh umat.

Dengan toleransi dan hidup berdampingan, kehidupan yang harmonis dan berkemajuan akan tercipta.

Toleransi akan menumbuhkan rasa kemanusiaan yang diajarkan oleh semua agama, bukan di atas agama.

Seperti contoh, tidak membuat gaduh saat berangkat Salat Tarawih di saat umat Hindu ada yang melaksanakan Catur Brata Penyepian.

Kemudian, tetap menghargai umat Nasrani yang mengikuti misa Jumat Agung dan tidak merendahkan keyakinan mereka.

Seharusnya, pesan seperti ini sudah tidak perlu disampaikan lagi karena bangsa Indonesia sudah khatam tentang toleransi.

Namun, toleransi masih belum bisa diterima secara baik di beberapa kalangan umat beragama di negara ini.

Sebut saja, ada kelompok ekstremis pengasong khilafah yang alergi dengan umat agama lain.

Mereka ingin mengganti Pancasila yang sudah menjadi darul ahdi wa syahadah yang berarti negara hasil konsensus menjadi negara ekstremis agama dalam bingkai khilafah.

Seperti yang sudah diketahui, contoh gelap khilafah pernah dicoreng oleh Taliban di Afganistan seperti membombardir situs Buddha Bamiyan di tahun 2000-an.

Bayangkan, itu masih situs keagamaan yang dihancurkan, bagaimana jika paham radikal ini menginfeksi Indonesia? Pasti jauh lebih mengerikan lagi.

Padahal, konsep kenegaraan yang dibangun Rasulullah SAW dan para sahabat tidak seperti itu, mereka dibebaskan untuk beribadah sesuai agama masing-masing asal tidak saling mengganggu.

Para pengasong khilafah terlalu bernafsu mengganti ideologi yang jatuhnya menjadi bigot, tetapi tidak mau mengakui konsep toleransi yang dicontohkan Nabi SAW.

Ini sangat bertentangan dengan konsep syariat yang harus patuh pada negara selama tidak bertentangan dengan agama.

Apa soal politik saja? Bukan itu saja, kasus larangan umat minoritas beribadah di lingkungan tertentu masih saja terjadi.

Dengan alasan rumah ibadah tersebut belum punya IMB, sebenarnya mereka alergi terhadap keberagaman.

Sangat disayangkan, keimanan mereka hanya setipis tisu yang dibagi 2, tipis dan mudah rapuh.

Padahal, dengan ibadah puasa sebulan penuh yang melewati hari keagamaan umat lain, seharusnya bisa dijadikan momen untuk menahan diri dan saling menghargai.

Sejatinya, masing-masing umat beragama harus menghargai satu sama lain, tidak egois minta dihargai ketika melaksanakan ibadah, tetapi menolak menghargai umat lain.

Semoga kita bisa belajar tentang toleransi dan harmoni dari bersamaannya hari keagamaan dari 3 agama yang berbeda ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Laporkan Konten
Laporkan Akun