KOMENTAR
RAMADAN Pilihan

Puisi: Semenjak Bumi Mendua pada Matahari

13 Maret 2024   11:19 Diperbarui: 13 Maret 2024   11:27 718 38

Setelah bulan bermuram durja di paruh masa
Bumi terhuyung -huyung dirundung duka
Matahari mengibas panas dalam warna tembaga
Gunung -gunung berdentang,  mual meludah sembarangan
Kabut -kabut mengaduk  udara malam di pucuk- pucuk ranum

Semenjak  bumi mendua pada matahari
Suara -suara berselingkuh dalam genggaman
Bayi- bayi melompat jendela, diusir  dari rahim suci
Suara pecah meraung merengek susu pada puting kemarau rasa
Ibu muda telanjang dada mengobral nafsu di stasiun kereta

Semenjak bulan melingkar merah pada cincin matahari
Anak -anak polos menyeret- seret sang bunda dengan lidah bercabang empat
Isteri -isteri nakal menjunjung harta suaminya di ubun -ubun
Di arak dalam kotak.berwarna ungu menjadi abdi dunia semu

Semenjak bumi berontak dalam rupa dan tanda
Pendosa berjingkrak -jingkrak di atas sisa kerak membelam jiwa
Di sana di negeri peninggalan Musa
Datjal-datjal  mulai berbenah menebar prahara
Di bawah sungai Efrat nan kerontang  musuh mulai  bermunculan

Semenjak marahari menelan embun
Bulan menghisap pasang
Bumi meraung- raung
Angin menguap panas
Api menjulur  memburu lahan ,-lahan tandus
Laut menyungsangkan pasang

Semenjak tanda membusur makna
Bumi menderita dalam luka menanti duka

Lhokseumawe. 13  Maret 2024

KEMBALI KE ARTIKEL


Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Laporkan Konten
Laporkan Akun