KOMENTAR
RAMADAN

Nonis: Toleransi Terselubung

16 Maret 2024   17:47 Diperbarui: 16 Maret 2024   17:48 393 1

Di awal Ramadhan 1445 H (12 Maret 2024) ini, di _tiktok_ saya ramai _fyp (for your page)_, cerita tentang _nonis_ berburu takjil. "Pantesan aja abis, jam 16 sudah jalan, gak puasa lagi. Kita jalan sambil nahan lapar dan haus". Ini komentar beberapa _fyp_ dengan _emoticon_ tertawa dan tersenyum.

Nonis (Non Islam) singkatan yang digunakan. Mereka ikut meramaikan berburu takjil dimanapun penjual takjil berada. Selama bulan Ramadhan ini banyak sekali penjual takjil yang 'berkeliaran'. Bukan hanya diserbu oleh umat Islam tetapi diserbu juga oleh para Nonis. "Nonis said: Agamamu Agamaku, Takjilmu ya Buat Aku".

Para Nonis ini lebih semangat dalam berburu takjil. Apakah ini terjadi pada para Nonis yang bekerja sehingga mereka pulang ke rumah tidak perlu masak memasak? Tidak juga. "Saya sengaja minta tambahan 50 ribu rupiah ke Paksu selama bulan puasa ini untuk berburu takjil". Ini komentar salah satu Nonis pemburu takjil.

Dari wikipedia, takjil adalah istilah umum untuk kudapan yang dimakan sesaat setelah berbuka puasa, biasanya berupa makanan manis seperti kolak pisang, sup buah, es campur, dan lain sebagainya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata takjil memiliki arti mempercepat dalam berbuka puasa. Kata tersebut berakar dari kata 'ajila dalam bahasa Arab yang memiliki arti menyegerakan, sehingga takjil bermakna perintah untuk menyegerakan untuk berbuka puasa.

Tetapi sekarang tidak terbatas kudapan makan kecil, lauk pauk yang sudah dimasak dengan bermacam menu juga tersedia. Ikan yang dibakar maupun digoreng, daging ayam dan daging sapi dengan berbagai olahan masakan semua tersaji dan sangat mengundang selera. Tidak heran, tempat jualan takjil sangat ramai dikunjungi. Yang jelas harga lebih murah dibandingkan di mal dan di restoran, pilihannya beragam dan punya sensasi _'healing'_ di sore hari.

Ritual budaya Islam ini nanti akan berlanjut dengan malam takbiran. Masyarakat berkeliling lingkungannya sambil menyerukan kebesaran Tuhan (Allahu Akbar) dibarengi tabuhan bedug dan rebana. Selanjutnya adalah shalat ied dan silahturahmi saling berkunjung antar tetangga di lingkungan dan keluarga masing-masing.

Semua WNI menyadari bahwa umat Islam merupakan mayoritas sehingga semua WNI saling bertoleransi. Sejatinya tidak ada masalah dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan rumah, sekolah dan kerja bahkan antar keluarga. Kita sudah terbiasa dan terlatih untuk bertoleransi.

Ketika kecil, saya tinggal di lingkungan orang Cina (Thionghoa). Yang muslim hanya keluarga saya, tetangga sebelah rumah dan tetangga beberapa rumah setelah saya. Selebihnya Cina. Kalau taraweh berjamaah dan shalat Jumat cukup jauh masjidnya, kira-kira 1 km. Tetapi tidak pernah ada masalah yang berkaitan dengan toleransi. Kami biasa saling kunjung mengunjungi kalau merayakan hari besar agama. Apalagi perayaan _sincia_ karena makanannya enak-enak.

Salah satu terobosan untuk meningkatkan toleransi beragama sudah dilakukan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu yaitu _Christmas Carol. Christmas Carol_ adalah tradisi menyanyikan lagu-lagu Natal yang mengisahkan kelahiran Yesus Kristus. Kegiatan ini dilakukan sekelompok penyanyi sambil berjalan berkeliling dari rumah ke rumah atau berkumpul di jalan sambil memegang lilin.

Christmas Carol juga dianggap sebagai media untuk pemersatu antar umat meskipun dengan latar belakang yang berbeda. Gelaran acara dalam rangka menyambut Natal ini turut menghadirkan suasana kedamaian dan kebersamaan dalam hidup bermasyarakat.

Pimpinan Pemerintahan Pusat dan Daerah sejatinya bersama dengan pemuka agama masing-masing dapat mencari dan menemukan budaya agama yang dapat diperlihatkan dan dipertontonkan ke masyarakat Indonesia. Budaya agama dalam menyambut hari besar masing-masing.

Toleransi sudah berlangsung dengan benar dan baik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Taraweh pertama umat Islam menyambut Ramadhan 2024 di Bali menjadi contoh nyata. Taraweh pertama ini bersamaan dengan perayaan Nyepi di Bali. Taraweh dalam kegelapan dan keheningan. Sejatinya kekhusukan yang sangat diperoleh dengan sendirinya. Kedua umat beragama secara bersama-sama dengan cara berbeda mendekatkan diri kepada Sang Penciptanya.

Banyak lagi contoh toleransi kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Tidak jarang Nonis mengucapkan "Insya Allah", "Masya Allah", "Astargfirullah" dan "Innalillahi" dan "Ya Allah" dalam merespon kejadian. Wajar dan sangat wajar karena Nonis hidup dalam lingkungan mayoritas Islam. Sejatinya semua merasakan _"fine-fine"_ saja.

*Jadi, jangan ajarkan kami, masyarakat Indonesia, tentang toleransi.* Kami sudah sangat paham dan menjalaninya. Kami sangat sayang dan menyayangi sesama manusia dan mahluk hidup lainnya.

Selamat menikmati kenikmatan takjil dan suasananya para Nonis.

Subuh di hari Jumat, 15 Maret 2024
Novian Pranata, psikolog

KEMBALI KE ARTIKEL


Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Laporkan Konten
Laporkan Akun