KOMENTAR
TRADISI Pilihan

Kerak Telor Kampung Halaman

23 April 2023   21:15 Diperbarui: 23 April 2023   21:17 655 6

Oleh: Penadebu

Deru kendaraan penikmat suasana Pantai Jetis berderet setelah usai tenggelamnya matahari ke dasar lautan. Di ufuk barat non jauh di sana. Mobil motor beriringan melaju di aspal sempit. Kadang klakson melengking agar kita selalu waspada. Suasana malam pantai Jetis kelihatan berbeda dari tahun sebelumnya. Sepi senyap, tetapi kini berganti berubah ramai meriah. Di sebelah sana terlihat seorang sebayaku duduk di depan kompor arang melakukan aktivitasnya.

Beberapa penjaga pantai mulai dengan aktivitasnya cekatan menyapu jalanan utama pantai. Kelihatan kompak bahwa dengan kekuatannya bersatu bahu membahu akan menghasilkan daya guna maksimal. Aktivitas akhir di lebaran kedua sekitaran pukul 22.00 wib. Hanya debur ombak yang semakin ganas.

"Permisi, Bapak, kerak telor, nggih?"

"Inggih," sela  Bapak itu.

"Ya, Pak, kerak telor 1 saja, nanti dibelah menjadi 2 nggih?"

" Iya, Bapak, pedes punopo boten ( pedas apa tidak)?"

"Iya, Pedas, Pak"

Sementara sambil berucap Bapak itu terus membuat mencampurkan dengan beberapa bumbu. Saya bertanya tentang bahan bahan yang digunakan. Secara pasti kurang begitu paham. Terlihat di sana pertama jagung setengah lembut dimasak menggunakan air, Sekira sudah masak dicampur beberapa bumbu dan abon serta rempah lainnya. Kemudian diceploki telor bebek. Diaduk hingga campur merata sambil dipanggang di atas tungku. Dibentangkan merata di atas wajan yang di panggang. Pedagang kemudian membalik wajannya namun adonan tersebut tidak tumpah

Oh, itukah seninya kerak telor main balik membalik wajan panggang hingga tidak jatuh di api. Setelah beberapa waktu kerak telor matang dituang dalam tempat dan ditaburi abon.Kerak telor siap disantap.

Kami hanya bisa berharap walau kami hari ini tidak tinggal di kampung halamanku setidaknya kampung halaman akan selalu terkenang. Banyak hal yang menjadi keinginan dan rasa syukur tingkat SDM yang semakin berkembang walau akhirnya saya harus hidup di kampung orang. Semua karena pekerjaan dan beda priuk nasi. Setidaknya kampung halaman akan menjadi kenangan.

KEMBALI KE ARTIKEL


Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Laporkan Konten
Laporkan Akun