KOMENTAR
RAMADAN

(5) Menjadi Aktor-aktris di Kehidupan Nyata yang Menjaga Lisan dan Tulisan

27 Maret 2023   17:21 Diperbarui: 27 Maret 2023   17:30 1626 1


Bila dalam diri kita sudah tertancap kuat karakter pribadi yang fair play, yaitu kesatria, jujur, wajar, dan adil. Serta menjadi pribadi yang tahu diri, rendah hati  karena cerdas intelegensi dan personality, kaya pikiran dan kaya hati, maka kita akan dapat selalu menjaga, mengontrol, mengendalikan lisan dan tulisan kita di mana pun, kapan pun, kepada siapa pun, terutama di grup wa, twitter, dll.(Supartono JW.Ramadhan5.1444H.27032023)

Ibadah Ramadhan 1444 Hijriah sudah memasuki hari ke-5, namun produksi kata-kata yang tidak benar, tidak baik, tidak santun, tidak etis, sok tahu, menghujat, merendahkan, kasar, dan sejenisnya terus mengalir dari manusia-manusia tidak tahu diri dan menjadi drama yang memprihatinkan di kehidupan nyata, dalam bulan yang penuh berkah.

Bahkan, bukannya surut, eskalasi kata-kata buruk dalam kolom komentar artikel atau berbagai jenis media sosial (medsos) justru meningkat. Terlebih, terbaru adanya kasus penolakan Timnas Israel U-20 hingga FIFA membatalkan drawing Piala Dunia U-20 yang sedianya digelar pada 30 Maret 2023 di Bali.

Sementara, pengguna medsos bernama twitter dan whatsapp (wa) pun sulit sekali  terhindar dari serbuan kata-kata tidak benar dan tidak baik, hasil karya dari pikiran dan hati manusia yang tidak bersih. Sebab, banyak manusia cerdas yang tetap memproduksi kata-kata tidak benar dan tidak baik di twitter dan wa demi menyerang, menentang, menantang, menghina, melecehkan pihak lain/yang berseberangan. Pun ada produksi kata-kata tidak benar dan tidak baik yang memang diketik oleh manusia tidak terdidik, tidak cerdas, pikiran dan hatinya pun tidak bersih.

Meski dari mereka banyak yang tahu ungkapan "mulutmu, harimaumu". Maknanya adalah perkataan bisa menjadi "senjata tajam" sehingga dapat menyakiti orang lain jika tidak dijaga.

Ungkapan tersebut juga menjelaskan agar kita dapat selalu mengontrol, mengendalikan diri, tahu diri, serta menjaga lisan kita ketika berbicara baik secara verbal (lisan) mau pun tertulis (di medsos).

Rasul pun memberikan nasihat dalam hadisnya: "Selamatnya manusia karena mampu menjaga lidahnya." (HR Bukhari). Hadis lainnya, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau (jika tidak bisa) lebih baik diam." (HR Bukhari dan Muslim).

Dua landasan hadis ini jelas mengingatkan agar berhati-hati dalam berbicara. Kapan pun, di mana pun, dan kepada siapa pun.

Sebab kini dunia sudah bergeser, penuh gadget, komunikasi pun sudah diganti dengan tulisan  baik dalam bentuk twitt, komentar, pendapat, kritik, saran, masukan, maka, dua hadis tersebut juga dapat mengingatkan agar kita berhati-hati dalam menulis komentar, kritik, pendapat, dll. Kapan pun, di mana pun, dan kepada siapa pun.

Pribadi berjiwa fair play

Terkait produksi kata-kata tidak baik dan buruk ini, kini sangat mudah kita jumpai di kolom komentar yang tersedia di setiap akhir berita atau artikel media massa apa pun, khususnya media online. Lalu juga sangat mudah kita temukan dalam twitt orang-orang yang cukup dikenal di Republik ini, sebab tidak tahu pangkalnya, meski saya tidak menjadi pengikutnya, saya tetap dapat notifikasi twitt yang selalu negatif dari mereka-mereka.

Cukup memprihatinkan. Pasalnya, saya tahu, mereka-mereka yang sangat aktif nge-twitt, ada yang memang menjadi pekerjaannya, ada yang menjadi bagian kelompoknya, dan masyarakat umum, yang pribadi, pikiran, dan hatinya sudah terpecah belah oleh kendaraan politik dan agama.

Yang lebih parah, banyak sekali grup-grup wa, ada yang anggotanya dari tingkat pendidikan selevel, ada yang anggotanya campuran (berpendidikan tinggi, menengah, rendah, tidak berpendidikan) tetapi karena sudah berbaur menjadi satu di dalam grup, dalam perjalanannya, grup itu menjadi tidak jelas. Mana yang pintar/cerdas/berpendidikan mana yang masih bodoh.

Hal ini dapat kita ketahui kenyataannya ketika ada anggota grup yang berbagi kisah/peristiwa/berita/pengetahuan/wawasan dll dalam bentuk tulisan biasa/artikel/video dll. Apa yang kemudian terjadi?

Ada anggota grup yang tanpa membaca atau menonton isinya secara lengkap dan tuntas, ikutan langsung meneruskan yang baru dishare ke grup lain atau orang lain.

Ada yang hanya membaca judulnya langsung sok tahu. Bahkan dengan sigap jarinya menulis komentar. Nah, kebanyakan yang saya temui dan  dikisahkan oleh orang lain, anggota grup yang sok tahu ini menulis komentar yang jauh panggang dari api. Langsung menulis komentar yang semakin memberikan petunjuk bahwa dirinya bodoh, tidak tahu, tidak paham, tapi sok berpendapat yang malah membuat suasana grup menjadi tidak nyaman.

Yang paling sangat sering saya temui adalah banyaknya anggota grup.yang saya sebut bunuh diri, karena tidak suka dengan apa yang dishare oleh anggota grup lainnya. Langsung bersikap dan bahkan memprovokasi agar yang dishare dalam grup yang sesuai visi misi grup. Tetapi tidak membaca dengan saksama apa isi sharingnya. Langsung membuat kesimpulan.

Parahnya lagi, sudah sikap mempermalukan dirinya serta sikap mempertunjukkan kebodohannya menjadi perhatian seisi grup, masih tetap bertingkah ngeyel dan merasa yang paling benar dan hebat.

Banyak kejadian sejenis di medsos lainnya. Tetapi siapa yang harus mengingatkan dan menggurui orang-orang sok tahu, sok pintar, sok paling benar ini? Sebab grup media sosial bukan lagi sekolahan atau perkuliahan yang ada standar lulus atau tidak lulus?

Tetapi, sejak hadirnya medsos, kita semua yang waras, tentu terus berupaya menggunakan kecerdasan otak dan kecerdasan kepribadian untuk tidak ikutan menjadi orang-orang yang menunjukkan kebodohannya, atau bunuh diri dengan produksi ketikan kata-kata dalam membuat komentar.

Sebab, apa yang kita tulis sebagai bentuk komentar atau tanggapan atau kritik/saran/masukan, di grup wa, twitt, kolom komentar berita/artikel, adalah cermin dari keilmuan kita, kecerdasan kita, pengalaman kita. Spidometer diri kita.

Jadi, Bila dalam diri kita sudah tertancap kuat karakter dan pribadi yang fair play, yaitu kesatria, jujur, wajar, dan adil. Serta menjadi pribadi yang tahu diri, rendah hati  karena cerdas intelegensi dan personality, kaya pikiran dan kaya hati, maka kita akan dapat selalu menjaga, mengontrol, mengendalikan lisan dan tulisan kita di mana pun, kapan pun, kepada siapa pun, terutama di grup wa, twitter, dll.

Kita tidak akan menjadi aktor/aktris yang memerankan tokoh menjadi diri sendiri dalam sandiwara kehidupan nyata, khusus adegan lisan dan tulisan, secara konyol (tidak sopan, kurang ajar).

KEMBALI KE ARTIKEL


Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Laporkan Konten
Laporkan Akun