KOMENTAR
RAMADAN Pilihan

(6) Tawuran di Ramadhan, Pentingnya Kesadaran Diri

28 Maret 2023   18:19 Diperbarui: 28 Maret 2023   19:07 2276 2


Ramadhan pun tawuran. Bagaimana anak dididik di rumah, sekolah? Bagaimana pendidikan di Indonesia? SEHARUSNYA, SETIAP ORANG yang akan menikah di Indonesia, sudah mendapatkan SURAT IZIN MENIKAH (SIM) dari lembaga berwenang. Untuk lulus SIM, ada materi pendidikan mendidik anak, sehingga digaransi nantinya dapat mendidik anaknya di rumah, sesuai kompetensi yang telah dididik di lembaga. Bagaimana di sekolah?(Supartono JW.Ramadhan6.1444H.28032023)

Baru memasuki hari ke-6 ibadah Ramadhan 1444 Hijriah, tercatat sudah ada delapan aksi tawuran yang terjadi di wilayah Jakarta dan Tangerang, satu di antaranya berujung dengan jatuhnya korban jiwa.

Dari penjelasan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko, tawuran selama Ramadan ini kerap dipicu kegiatan berkerumun.
"Karena diawali adanya potensi, ngabuburit atau menunggu buka puasa, menunggu sahur," kata Trunoyudo kepada wartawan, Senin (27/3/2023).

Trunoyudo menambahkan, kegiatan berkerumun itu memicu terjadinya potensi gesekan saat bertemu dengan kelompok lain.

Masalah tawuran di tengah ibadah Ramadhan ini, juga ada klitih di Yogyakarta, sebelum saya ulas latar belakang dan masalahnya, tentunya mustahil terjadi bila para pelakunya, manusia-manusia yang tahu diri.

Dan ini, bukan kebetulan, sebab di Ramadhan 1444 Hijriah ini, saya memang sengaja mengangkat tema artikel untuk Tebar Hikmah Ramadhan tentang "Manusia Tahu Diri".

Jadi, bila para pelaku tawuran, para pribadi dan individu yang tahu diri, sudah tentu, tidak akan ada tawuran. Terlebih di bulan penuh berkah dan ampunan ini. Pasalnya pribadi yang tahu diri, tentu akan mampu mengontrol diri sendiri dan sadar diri. Sehingga ibarat sinetron atau pertinjukkan drama, tidak meneruskan kisah klasik yang mentradisi di Indonesia, yaitu drama tentang tawuran pelajar yang terus terjadi episode per episode, sambung-menyambung, berjilid-jilid.

Akar tawuran

Menyoal tawuran, khususnya pada pelajaran dan umumnya pada masyarakat, banyak pihak yang bertanya tidak ada habisnya. Siapakah yang bertanggung jawab hingga terjadi tawuran? Siapakah yang salah? Sekolah? Kurikulum? Orangtua? Masyarakat? Atau Pemerintah?

Jawabnya, semua salah. Dan, ini kesalahan kolektif. Namun, bila mau diurut dari mana yang punya andil kesalahan terbesar, bisa saja awalnya dari kesalahan orangtua yang gagal mendidik anaknya di lingkungan keluarga. Lalu, diperparah oleh kegagalan sekolah dalam mendidik anak-anak yang sudah gagal di rumah.

Ujungnya, anak-anak ini gagal dididik di rumah, gagal dididik di sekolah, dan akhirnya menjadi masalah di kehidupan nyata, di tengah masyarakat, yaitu lahirnya anak-anak yang gagal dalam pendidikan, mereka berbaur menjadi satu. Salah satu kegiatan negatif yang dilakukan adalah tawuran. Bangga, bila sampai menciderai atau menghilangkan nyawa lawan tawurannya.

Tawuran pun menjadi salah satu kegiatan nyata dari gagalnya pendidikan di Indonesia, sekaligus cermin kegagalan itu sendiri. Indonesia pun terus tercecer dari negara lain. Bahkan di Asia Tenggara saja ada di urutan buncit bersama Timor Leste , khususnya dalam literasi, matematika, dan sains.

Sejatinya, atas kegagalan pendidikan di Indonesia selama ini, maka sudah pasti para peserta didik yang masih gagal atau malah banyak yang tidak merasakan bangku sekolah, seiring berjalannya waktu, mereka tidak dapat melawan alam, sebab mau tidak mau harus menjadi orangtua, kemudian melahirkan anak-anak kembali.

Bisa.dipastikan, para orang tua yang gagal dalam pendidikan, para orangtua yang tidak merasakan bangku sekolah, tentu tidak memiliki ilmu mendidik anak-anak mereka. Berapa banyak orangtua di Indonesia yang seperti demikian?

Atas fakta yang tidak pernah di bahas di Indonesia ini, banyaknya orangtua yang tidak memiliki kompetensi mendidik anak, tetapi harus punya anak, pada akhirnya, sekolahlah yang jadi tumpuan pusat pendidikan.

SEHARUSNYA, SETIAP ORANG yang akan menikah di Indonesia, sudah mendapatkan SURAT IZIN MENIKAH (SIM) dari lembaga berwenang, sehingga digaransi nantinya dapat mendidik anaknya di rumah, sesuai kompetensi yang telah dididik di lembaga.

Yang ada selama ini, para calon orangtua yang bisa jadi gagal dalam pendidikan atau belum mengenyam pendidikan, lalu menjadi orangtua. Bagaimana mereka memiliki bekal mendidik anaknya?

Jadi, jangan harap tawuran akan dapat diatasi di Indonesia, bila di rumah orangtua gagal mendidik, mengontrol, dan mengendalikan anaknya. Sementara di sekolah Kepala Sekolah dan guru pun gagal mendidik anak-anak.

Ini diperparah oleh Kurikulum Pendidikan Indonesia, yang setiap Menterinya baru, lalu ada perbaikan atau pergantian Kurikulum. Tetapi, saat Kurikulum diganti atau diubah, Kepala Sekolah dan guru mengimplementasi kurikulum di sekolah tidak benar atau tidak baik.

Penyebabnya, sumber daya manusia (SDM), dalam hal ini kepala sekolah dan gurunya masih terus terkendala dalam kompetensi, guru sekadar layak sesuai syarat pendidikan, guru tersertifikasi dalam praktiknya juga jauh panggang dari api. Mereka masih terjebak dalam kontek mengajar, bukan mendidik.

Buntutnya, Kurikulum diartikan dan dilaksanakan di sekolah masih sangat dititik beratkan pada unsur kognitif, mengutamakan kemampuan siswa dalam unsur pengetahuan saja.

Akibatnya, peserta didik atau siswa miskin penekanan pendidikan pada unsur sikap dan keterampilan. Efeknya, pembentukan karakter siswa dalam membentuk sikap-sikap positif seperti jujur, tanggungjawab, disiplin, menghormati, empati, bekerja keras, dan nilai sikap lainnya sebagai hasil belajar siswa, hanya numpang lewat. Tidak ada yang tertancap, tidak ada yang tertanam.

Ibarat tanaman yang benar dan baik, menghasilkan buah yang bermutu dan berkualitas, maka dari bibitnya sudah disiapkan dengan cermat, ditanam dengan benar, dirawat dengan benar (siram-pupuk dll), hasilnya pun, akan lahir buah yang berkualitas dan berkarakter.

Siswa/peserta didik sama halnya dengan bibit pohon buah, bila tidak disiapkan dengan benar dan baik, mana mungkin bisa dirawat sampai dapat menghasilkan buah yang berkualitas?

Selain asupan pendidikan yang masih gagal, Kurikulum juga tidak diterjemahkan dengan benar. Semisal, pembentukan budaya di sekolah adalah sangat penting dalam membina sikap siswa.

Budaya sekolah (School Culture) merupakan sekumpulan nilai yang melandasi prilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, siswa, dan masyarakat di sekitar sekolah, sehingga sekolah yang benar dalam membangun dan membentuk budaya sekolah jarang terlibat dalam kericuhan dan keributan apa lagi terlibat tawuran.

Mental siswa pun ikut terbentuk sehingga mereka sudah kuat oleh pengaruh dari luar ketika berada di luar pagar sekolah. Masih banyak sekolah yang belum membangun dan membentuk School Culture di sekolah sehingga sekolah tersebut belum berkarakter.

Bicara tawuran, menelusuri akar masalahnya panjang, sebab ini sudah menjadi masalah kolektif. Tetapi, sementara dua sektor tersebut, orangtua dan sekolah bila terkondisi dan memiliki kompetensi sesuai tujuan pendidikan yang benar dan baik, minimal menjadi benteng utama untuk anak-anak terhindar dari tawuran.

Kesadaran diri (Self-awareness)


Seiring perkembangan zaman, hadirnya media online dan medsos, bila anak-anak diarahkan dan dididik oleh orangtua dan sekolah dengan benar,  anak-anak dapat memanfaatkan media online dan medsos untuk belajar terdidik sendiri.

Dengan diberikan arahan yang jelas, disentuh hatinya dengan KEKELUARGAAN dan KEAGAMAAN, maka tidak akan sulit membuat anak-anak menjadi sadar diri.

Kesadaran diri (Self-awareness) adalah
kemampuan individu untuk bisa mengidentifikasi dan memahami dirinya secara utuh, baik dari sifat, karakter, emosi, perasaan, pikiran dan cara adaptasi dengan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Dengan kesadaran diri, seseorang akan mampu dalam memahami perasaan, pikiran, serta evaluasi diri. Sehingga akan membantu seseorang dalam memahami kekuatan, kelemahan, dorongan, hingga nilai yang ada di dalam dirinya sendiri dan juga orang lain.

Dengan kesadaran diri, sesorang pun dapat memahami situasi sosial, memahami orang lain, serta memahami harapan orang lain terhadap dirinya. Jadi, kita akan lebih mudah untuk bisa merefleksikan diri, menggali pengalaman, mengamati, dan juga mengendalikan emosi.Sehingga hal itu bisa mengarahkan individu tersebut untuk memilih situasi dan juga strategi yang tepat bagi dirinya sendiri di masa depan.

Pada akhirnya, kesadaran diri menjadi pondasi untuk kesadaran dan pengendalian emosional. Ini  membedakan individu satu dan individu lainnya dalam kecerdasan intelegensi (otak) dan kecerdasan personality (kepribadian).

Bagaiamana para orangtua dan sekolah? Apakah dapat diandalkan menjadi benteng untuk membuat anak-anak tahu diri dan memiliki kesadaran diri? Sehingga tidak ada lagi tawuran karena semua anak Indonesia terbentuk tahu diri dan kesadaran dirinya.

Semoga, cukup delapan episode tawuran saja yang terjadi di Jabodetabek, klitih di Yogyakarta pun setop, pada Ramadhan ini, tidak ada tawuran tambahan dan korban susulan. Aamiin.


KEMBALI KE ARTIKEL


Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Laporkan Konten
Laporkan Akun