KOMENTAR
RAMADAN

1445 H (2) Menjadi Aktor/Aktris Asli di Kehidupan Nyata

12 Maret 2024   00:13 Diperbarui: 12 Maret 2024   00:20 840 1


Kendati kompeten dalam agama dan pendidikan, aktor-aktris asli dalam kehidupan nyata, sikap dan perbuatannya ada yang pura-pura, bertopeng, palsu, licik, jahat (baca: antagonis). Tak ubahnya aktor dan aktris palsu (baca: memerankan karakter orang lain) dalam panggung sandiwara.(Supartono JW.12032024)

Bulan Ramadan yang penuh berkah dan ampunan, tidak pernah berubah fasenya. Selalu ada tiga, yaitu fase rahmat, fase ampunan dan fase pembebasan dari api neraka. Setiap fase, masing-masing berlangsung dalam 10 hari.

Ramadan 1445 Hijriah, kini sudah memasuki fase rahmat, fase yang berat. Umat Islam diharapkan mulai melakukan perubahan. Di dalamnya penuh ujian untuk mencapai ketakwaan.

Namun demikian, fase ini adalah fase yang paling berlimpah pahala. Pintu rahmat terbuka lebar bagi setiap muslim yang mau berubah, sehingga jadi momentum yang tepat untuk banyak berbuat kebaikan.

Aktor-aktris?

Agar fase rahmat dapat dijalani dengan benar dan baik, maka dapat dimulai dengan bertanya jujur pada diri sendiri. Pertanyaannya, selama di berikan kesempatan hidup di dunia, saya ini tergolong aktor/aktris asli yang mana dalam menjalani setiap langkah sikap, perbuatan baik di rumah, di lingkungan masyarakat, di pekerjaan, dll, hingga dalam menjadi warga negara?

Perlu dipahami, saya membuat definisi, aktor/aktris asli, adalah pribadi/orang yang memerankan diri sendiri dalam kehidupan nyata. Sementara, aktor/aktris palsu, adalah pekerjaan seseorang yang memerankan karakter orang lain di panggung sandiwara/film/sinetron, dll. Yang lebih ngetren disebut artis/seleberitis/seniman.

Untuk itu, sebagai aktor/aktris yang sebenarnya dalam kehidupan nyata, mari setiap kita, bertanyalah pada diri sendiri. Siapa yang membuat saya, kita, mendapatkan kesempatan menjadi aktor dan artis sebenarnya? Siapa yang menulis skenario dari peranan saya, kita, dalam kehidupan sebenarnya? Siapa yang menyutradarai, agar saya, kita dapat memerankan peran dengan benar dan baik?

Orang-orang yang sudah terdidik, sudah belajar, dan berbekal ilmu agama serta kepercayaan yang dipeluk/dianut, tentu dapat menjawabnya.

Pertanyaan berikutnya, untuk saya, kita, sebagai aktor dan aktris sebenarnya. Sesuai umur saya, kita, apakah sudah memerankan peranan yang membuat maslahat bagi diri, keluarga, lingkungan, masyarakat, hingga bangsa dan negara?

Sesuai agama dan kepercayaan yang saya, kita peluk, apakah saya, kita sudah memerankan fakta-fakta kehidupan yang dilalui sesuai tuntunan dan ajaran agama atau kepercayaan yang saya, kita peluk?

Sejauh kaki melangkah dalam kehidupan di dunia, apakah ilmu yang saya, kita peroleh melalui jalur pendidikan formal atau nonformal (baca: otodidak), benar-benar dapat diaplikasikan dengan benar dan baik? Bermanfaat untuk saya, kita, keluarga, lingkungan, masyarakat, hingga bangsa dan negara?

Sebagai pribadi, individu, apakah karakter saya, kita, memberikan pengaruh benar dan baik, teladan, bagi keluarga, lingkungan, masyarakat, hingga bangsa dan negara?

Apakah saya, kita, sudah berperan sesuai dengan kompetensi di dalam kehidupan di tengah keluarga, lingkungan, masyarakat, hingga bangsa dan negara?

Jujurlah pada diri sendiri. Apakah selama hidup ini, saya sudah menjadi aktor/aktris yang benar dan baik, berkarakter protagonis. Atau bahkan sudah dapat menjadi aktor/aktris asli yang memerankan diri sendiri berkategori tritagonis?

Atau malah selama hidup ini, saya malah selalu menjadi aktor/aktris asli yang sikap, perbuatan, dan hidupnya penuh kepura-puraan, penuh topeng, jahat, licik, pembuat kisruh, gaduh, pembuat masalah (trouble maker), bahkan berlindung di balik kedok agama dan pendidikan yang tinggi? Tidak jauh berbeda dengan aktor/aktris palsu yang memerankan karakter anatagonis, jahat, kejam, bengis, licik, pura-pura, bertopeng?

Selama ini, sepanjang masih diberikan kesempatan bernafas, hidup, jujur, saya, kita disimpulkan termasuk golongan aktor atau aktris yang mana? Apakah protogonis? Atau antagonis? Atau tritagonis?

Dalam panggung sandiwara/film/sinetron/dll, karakter protagonis adalah orang yang memerankan tokoh utama pada sebuah cerita. Protagonis berasal dari bahasa Yunani,  protos yang artinya pertama. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan protagonis adalah tokoh utama dalam cerita rekaan atau dramatik.

Protagonis merujuk pada sifat yang netral, bisa baik ataupun jahat, walaupun pada umumnya banyak cerita dengan tokoh protagonis yang baik.

Protagonis bertujuan sebagai pembangun plot dalam sebuah cerita. Ia biasanya memiliki tujuan tertentu dan menghadapi banyak konflik di sepanjang cerita berlangsung.

Lantaran dalam banyak cerita biasanya menggunakan sudut pandang si tokoh utama, maka protagonis seringkali dimunculkan dengan watak yang baik, positif, punya sifat terpuji, dan sesuai dengan nilai moral, meski tidak selalu demikian.

Berikutnya, karakter antagonis sesuai KBBI adalah tokoh dalam karya sastra yang merupakan penentang dari tokoh utama alias tokoh lawan. Antagonis identik dengan orang yang menentang atau melawan si protagonis, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara fisik maupun batin. Tokoh yang menghambat atau menghalangi tujuan protagonis yang merupakan karakter utama dalam cerita. Dengan kehadiran tokoh antagonis, konflik dalam cerita akan menjadi lebih kuat dan berkembang. Antagonis digambarkan sebagai sosok buruk, jahat, licik, bertopeng, pura-pura, bahkan disebut sebagai sumber masalah  dalam sebuah cerita.

Selanjutnya, karakter tritagonis. Tokoh tritagonis disebut juga sebagai pelaku yang menjadi penengah antara protagonis dan antagonis.Mempunyai peranan dalam menyelesaikan suatu konflik dalam cerita. Misalnya protagonis dan antagonis bermusuhan, maka tritagonis memainkan peran sebagai penengah atau pendamai konflik keduanya.

Menjadi benar dan baik

Dengan memahami diri sendiri. Dapat jujur menyimpulkan diri sendiri selama hidup berkaraktar apa. Maka, fase rahmat di ramadan ini, dapat dijadikan momentum untuk diri berubah.

Bila selama ini karakternya sebagai aktor/aktris asli sudah mencapai tahap protagonis hingga tritagonis, pertahankan dan tingkatkan agar sikap dan perbuatan saya, kita semakin bermaslahat.

Namun bila pencapaian saya, kita masih ditaraf antagonis. Fase rahmat ini, harus dijadikan momentum memperbaiki diri. Ubahlah karakter antagonis menjadi protagonis, bahkan sampai taraf tritagonis.

Setop meneladani tokoh-tokoh jahat, bengis, licik, bertopeng, dan yang hidupnya penuh sandiwara, penuh kepalsuan, kebohongan di kehidupan nyata. Hanya mementingkan diri sendiri.

Semoga, saya, kita dapat masuk ke golongan orang-orang yang berubah, berbuat-bersikap yang benar dan baik. Menjadi aktor/aktris asli yang bertaqwa, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Aamiin.


KEMBALI KE ARTIKEL


Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Laporkan Konten
Laporkan Akun