KOMENTAR
RAMADAN Pilihan

Memaafkan Tanpa Kata Tapi, Berani?

29 April 2023   21:42 Diperbarui: 29 April 2023   21:47 1193 33

Saat itu senja. Sepasang manusia menatap bias jingga yang perlahan sembunyi di garis pantai. Jemari mereka bertaut ragu, tapi lelah rasa mampu mangusik bisu ingin bertamu.

"Maaf, Mas. Aku mencintaimu. Tapi..."
"Aku mengerti. Belajarlah tanpa tapi!"

Kamera tiba-tiba menjauh! Beralih pada buih ombak yang tertatih menjamah bibir pantai. Hanya sesaat! Kemudian, terhenti usai satu teriakan dari mulut sutradara:

"Cut!"

Berucap Maaf tanpa Menunggu Tagihan Kata Maaf. Mungkinkah?

Aih, maafkanlah. Jangan dianggap serius! Sketsa di atas hanya guntingan lakon imajinatif! Sebagai pijakan awalku untuk menulis tema samber hari ini.

Nah. Aku coba ulik dialog pada sketsa tadi, ya?

Pada dialog singkat itu, diawali oleh sosok perempuan, dengan tiga kalimat. Namun kalimat terakhir, ucapannya tak sempat selesai.

Kalimat pertama: "Maaf, Mas!"

Mari meliarkan imajinasi. Anggaplah. Sosok perempuan itu, berada pada situasi pelik, atau malah terjebak di antara dua atau tiga pilihan sulit. Namun, lawan bicara tak tahu yang dipikirkannya.

Sehingga kata Maaf dipilih sebagai kalimat pembuka. Terkadang tak harus menunggu rasa bersalah atau di posisi salah untuk berucap maaf, tah?

Sependektahuku, mudah berucap kata maaf. Sesiapapun! Malah, ada yang berucap kata maaf, tanpa ada yang menagih kata maaf itu.

Lihat aja, baliho jelang idulfitri yang memajang gambar para pejabat atau calon pejabat di tepian jalan. Jejangan malah ada yang bertanya: itu siapa, ya?

Kalimat kedua: "Aku mencintaimu."

Dua kata ini, bisa saja dimaknai sebagai wujud komitmen dan pengakuan diri sosok perempuan itu, kan? Anggaplah, itu sebagai sebuah keputusan tentang rasa.

Namun, bakal terasa janggal, tah? Jika sudah mengambil keputusan dalam ucapan "aku mencintaimu" sebagai bentuk komitmen. Kenapa diawali dengan kata maaf?

Akhirnya, bermuara pada banyak letusan pertanyaan serta kemungkinan: Adakah yang salah dengan keputusan untuk mencintai? Kenapa? Mungkinkah?

Ucapan maaf. Apatah lagi beriringan demgan pengambilan keputusan, terkadang menuntut jawaban, alasan hingga penjelasan! Hiks...

Kalimat ketiga: "Tapi..."

Dalam kaidah bahasa Indonesia, Tapi adalah bentuk tidak baku dari Tetapi. Sebuah kata hubung untuk menyatakan hal yang tak selaras atau bertentangan.

Menurutku, keberadaan satu kata pada kalimat ketiga ini, akhirnya 'menabrak dan membantah" isi juga makna dari dua kalimat sebelumnya.

Dengan kata lain. Tak ada ucapan maaf. Dan tak ada keputusan untuk mencintai. Dan, itu tanpa alasan. Apalagi penjelasan!

Perih, kan'?

Terkadang, Harus Mengerti walau Tak Sepenuhnya Memahami

Untuk sementara, lupakan dulu perihal perih itu. Hayuk kita lanjut pada dialog milik sosok laki-laki pada sketsa di atas, yang hanya memiliki dua kalimat.

Kalimat pertama. "Aku mengerti."

Cobalah kembali berimajinasi, kemudian kira-kira apa yang ada di benak sosok lelaki itu.

Bayangkan, dalam satu waktu, seorang perempuan (yang dicintai?), berucap maaf, kemudian memberi pengakuan untuk mencintai. Namun, membantah semua itu dengan satu kata: Tapi.

Kukira, harus memiliki nyali yang besar untuk rela berucap kalimat "aku mengerti" tanpa perlu menunggu, atau mencari tahu alasan serta penjelasan dari lawan bicara.

Mungkin, pilihan kata mengerti, walau sama sekali tak memahami, adalah upaya ekstra untuk menciptakan suasana nyaman penuh kedamaian. Bagi diri sendiri maupun untuk lawan bicara.

Terkadang perlu untuk mengerti, walau tak sepenuhnya memahami, kan?

Kalimat kedua. "Belajarlah tanpa Tapi!"

Pada dialog ini. Kuanggap lelaki itu tak lagi butuh penjelasan untuk kata maaf, alasan ungkapan kata cinta, hingga penjelasan dari kata tapi?

Bisa jadi, karena sudah tahu, apapun jawaban, alasan hingga penjelasan yang ucapkan, semua adalah risiko! Karena telah memilih mencintai perempuan itu?

Terkadang, dalam interaksi antar personal, dianggap perlu suatu komunikasi yang lebih lugas, tegas dan jelas. Iya, kan?

Mari berandai, jika dari awal, perempuan itu mampu berucap:

"Maaf, Mas. Aku tak mencintamu!"

Fungsi kata maaf menjadi jelas. Tak perlu mencari jawaban, menggali alasan, atau menyigi beragam alasan. Kan? Kan?

Tapi....

Temans.
Ada banyak hal yang bisa diingat. Begitu juga dengan hal-hal yang dapat dilupakan. Tak sedikit urusan yang bisa diselesaikan. Walau tak jarang banyak juga urusan yang terbengkalai.

Gawatnya, keberadaan kata tapi bak butiran benih yang disemai menjadi bibit, kemudian ditanam dan tumbuh subur di belantara dendam terdalam.

Tak terkecuali, usai dihadapkan dengan sebuah pengakuan salah plus kata maaf. Misalnya?

"Aku memaafkan. Tapi, tidak untuk melupakan!"
"Kuakui, Aku salah. Tapi..."
"Aku mengerti. Tapi..."
"Kulakukan seperti inginmu. Tapi..."


Begitulah!

Agaknya akan damai dunia ini. Jika ada yang beani meminta maaf tanpa kata tapi, sehingga tak perlu menunggu tagihan ucapan maaf.

Atau, lebih dahulu memaafkan dan memilih untuk melupakan, sebelum kata maaf dan kata tapi itu terucap?

Atau lagi, kita semua sepakat membenamkan kata maaf dan kata tapi itu di kedalaman samudera hati. Dan, Membiarkan kedua kata itu tenggelam dalam diam! 

KEMBALI KE ARTIKEL


Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Laporkan Konten
Laporkan Akun