Arus Balik Semarang ke Jogja di Jalan Tol dan Non-Tol Relatif Lancar
Ketika mudik adalah tradisi, begitu pula arus baliknya di libur Lebaran 2022. Setelah bertemu keluarga, berbincang berbaku kabar, dan rencana-rencana ke depan, maka pulang ke rumah masing-masing juga tidak bisa dihindarkan. Isak tangis, peluk cium, dan bersalaman menjadi tanda bagi perpisahan sementara setelah merayakan Idul Fitri 1443 H.
Tradisi mudik sejatinya adalah pulang ke kampung halaman. Walau kampungnya tidak memiliki halaman (lagi), mudik tetaplah keharusan, apalagi jika masih ada orangtua. Mudik juga tetap dilakukan walau orang tua sudah tidak ada, dengan tujuan bertemu sanak-saudara.
Dalam bahasa Jawa namanya adalah ngumpulke balung pisah. Artinya adalah mengumpulkan saudara-saudara yang sudah bekerja di mana-mana ke rumah asal (usul). Menikmati lagi suasana rumah keluarga besar.
Jika mudik mengingatkan pada akar sejarah keluarga dan upaya menjaga marwah nilai-nilai keluarga, maka arus balik adalah kembali ke realita atau kenyataan yang sedang dijalani.
Sebuah kenyataan yang sedang diupayakan untuk mengembangkan marwah dari keluarga asal. Arus balik adalah juga tradisi pulang ke kekinian atau ke masa depan.
Arus balik pun menjadi sama pentingnya dengan mudik. Setelah bertemu keluarga, jiwa-jiwa kembali bersemangat seakan terisi kembali 'bensin' kehidupan untuk menyambut kenyataan perjuangan hidup.
Persiapan arus balik pun sama dengan ketika hendak mudik. Kembali mengukur jalan yang sama atau mencari alternatif dari jalan ketika mudik. Sekarang ada pilihan jalan yang hendak dilalui untuk mudik dan arus balik, baik jalan tol maupun non-tol atau jalan tradisional.
Melewati jalan non-tol juga penting dan perlu dipertimbangkan. Tujuannya adalah menengok kembali kehidupan nyata di pinggir-pinggir jalan biasa atau non-tol itu. Melewati kerumunan orang di pasar-pasar tradisional.
Kenikmatan melewati jalan biasa adalah bisa mampir ke toko atau resto atau tempat wisata lokal. Menikmati masa lalu dengan mampir ke toko Pauline yang melegenda itu di Ambarawa atau Kopi Eva di antara kota Ambarawa dan Secang. Berkeluh-kesah di antara kemacetan jalan tanpa lampu merah. Berebut jalan dengan sepeda, sepeda motor, atau becak, tapi tetap aman dan nyaman.
Mengapa harus marah-marah ketika macet di jalan non-tol atau tradisional? Mengapa begitu antusias menikmati tol yang lancar? Bukankah sesuatu yang biasa bahwa jalan tol itu lancar dan jalan non-tol bisa macet.