Bagi generasi awal 2000-an, film Ada Apa dengan Cinta? (AADC) bukan sekadar tontonan romantis remaja, melainkan sebuah fenomena budaya.
Film ini menciptakan gelombang baru dalam sinema Indonesia dan menjadi simbol kisah cinta pertama yang membekas di hati banyak orang.
Menariknya, dua dekade setelah perilisannya, AADC kini berperan lebih dari sekadar film klasik. AADC menjadi jembatan penghubung antara ibu dan anak perempuan Gen Z dalam berbagi kisah asmara dan makna cinta pertama.
Generasi Z tumbuh di era serba digital, di mana percakapan tentang cinta lebih sering terjadi melalui chat dan media sosial dibandingkan percakapan tatap muka.
Dalam konteks ini, AADC bisa menjadi referensi menarik bagi para ibu untuk mengenang kisah asmara masa remaja mereka dan berbagi pengalaman dengan anak perempuan mereka.
Film ini menyajikan perjalanan emosional yang autentik dan relatable, memungkinkan ibu dan anak menemukan titik temu dalam memahami makna romansa di masa muda.
Cinta pertama mungkin hanya sekejap, tapi kenangannya bisa selamanya. Dan di antara kenangan itu, seorang ibu dan anak perempuan bisa menemukan cerita yang sama untuk dibagi.
Cinta dan Rangga sebagai dua karakter utama dalam AADC, mewakili spektrum emosi yang pernah dialami generasi ibu masa kini. Dari perasaan berbunga-bunga, konflik batin, hingga kehilangan dan pertemuan kembali, AADC merangkum perjalanan cinta remaja dengan puitis.
Ketika ibu dan anak perempuan menonton film ini bersama, momen nostalgia sang ibu bisa menjadi bahan diskusi yang menarik. Bagaimana kisah cinta pertama mereka? Apakah ada sosok Rangga dalam hidup mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa membuka dialog yang selama ini jarang terjadi di rumah.
Tak jarang, anak perempuan merasa enggan membicarakan kisah cinta mereka dengan ibu karena adanya jarak generasi. Namun, melalui AADC, percakapan bisa mengalir lebih santai.