Setiap tanggal 6 April, Indonesia memperingati Hari Nelayan Nasional. Momen ini seyogianya menjadi waktu untuk memberi apresiasi, refleksi, dan perhatian terhadap kehidupan para pejuang laut.
Namun sayangnya, euforia perayaan seringkali menenggelamkan suara-suara lirih dari nelayan kecil yang masih berjibaku dengan ketidakpastian penghasilan, cuaca ekstrem, minimnya infrastruktur, hingga kerusakan ekosistem laut.
Kisah Pak Tarno: Menjaring Sampah, Bukan Ikan
Pak Tarno, seorang nelayan dari Pantai Timur Pangandaran, tak lagi bisa mengandalkan keberuntungan seperti dulu. Ketika menarik jaring, bukan ikan yang tersangkut, melainkan tumpukan sampah plastik dari Sungai Citanduy.
"Sudah beberapa bulan terakhir ini banyak sampah, kadang jaring rusak, tenaga habis, tapi pulang tidak bawa hasil," ujarnya.
Fenomena ini menjadi ironi di tengah kampanye besar-besaran tentang ekonomi biru dan potensi kelautan Indonesia. Laut yang seharusnya menjadi sumber kehidupan justru tercemar, menjadikan kerja nelayan seperti Tarno semakin berat dan tak menentu.
Cuaca Ekstrem dan Hasil Tak Seimbang: Kisah Ujang Warman
Hal serupa dialami Ujang Warman, nelayan di Pantai Batukaras. Ia mengaku sudah dua tahun belakangan sulit mendapatkan tangkapan yang memadai. Cuaca tak menentu, badai datang tiba-tiba, dan musim ikan tidak bisa diprediksi.
"Dulu bisa bawa pulang satu karung ikan sehari, sekarang satu ember pun belum tentu," katanya lirih.
Ketidakpastian ini menunjukkan betapa rentannya profesi nelayan terhadap dampak perubahan iklim. Minimnya akses informasi cuaca yang akurat dan kurangnya teknologi modern membuat nelayan tradisional seperti Ujang berada di ujung tanduk.
Mencari Asa lewat Inovasi dan Pemberdayaan