Lebaran identik dengan hidangan melimpah. Ketupat, opor ayam, rendang, hingga kue kering tersaji di hampir setiap rumah, menyimbolkan kemakmuran dan kebersamaan. Namun, di balik kemeriahan itu, timbunan sampah makanan atau food waste justru meningkat drastis.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), volume sampah makanan di Indonesia meningkat sekitar 20-30 persen selama perayaan. Sebagian besar berasal dari makanan berlebih yang akhirnya terbuang. Di Jakarta, misalnya, Dinas Lingkungan Hidup mencatat adanya lonjakan sampah organik pasca-Lebaran, yang mayoritas berupa sisa makanan tak termakan.
Budaya Berlebih dan Kurangnya Kesadaran
Fenomena limbah pangan saat Lebaran tak lepas dari budaya konsumsi yang berlebihan. Masyarakat kerap memasak dalam jumlah besar sebagai bentuk perayaan kebersamaan. Namun, sering kali, jumlah yang disiapkan melebihi kapasitas konsumsi sehingga banyak makanan terbuang.
Selain itu, kurangnya kesadaran akan pentingnya pengelolaan makanan juga menjadi faktor utama. Banyak rumah tangga belum terbiasa mengoptimalkan makanan sisa atau mendonasikan makanan berlebih kepada yang membutuhkan. Padahal, menurut Program Pangan Dunia (WFP), Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat food waste tertinggi di dunia, dengan lebih dari 23 juta ton makanan terbuang setiap tahunnya.
Ironisnya, pola konsumsi berlebihan ini tidak hanya terjadi di rumah tangga, tetapi juga di restoran dan katering yang menyediakan paket Lebaran. Banyak makanan tersisa dari acara keluarga besar atau perusahaan yang akhirnya dibuang begitu saja. Kurangnya sistem distribusi makanan berlebih ke pihak yang membutuhkan menjadi tantangan tersendiri.

Dampak Lingkungan dan Sosial
Sampah makanan tidak hanya berdampak pada pemborosan sumber daya, tetapi juga menimbulkan persoalan lingkungan yang serius. Limbah organik yang membusuk di tempat pembuangan akhir (TPA) menghasilkan gas metana, salah satu gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Selain itu, meningkatnya jumlah sampah juga membebani sistem pengelolaan limbah di kota-kota besar.
Di sisi lain, pemborosan makanan juga menjadi ironi ketika jutaan orang di Indonesia masih mengalami kelaparan atau kekurangan gizi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sekitar 9,4 persen penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan, di mana akses terhadap makanan bergizi menjadi tantangan. Setiap piring makanan yang terbuang mencerminkan ketimpangan sosial yang nyata.
Lebih jauh lagi, menurut Food and Agriculture Organization (FAO), produksi makanan yang akhirnya terbuang juga menghabiskan sumber daya alam yang berharga, seperti air, energi, dan lahan pertanian. Artinya, setiap makanan yang tidak termakan bukan hanya membuang bahan pangan itu sendiri, tetapi juga energi dan sumber daya yang digunakan untuk memproduksinya.