Bahagia Pun Perlu Menanti
Sabar memang bukanlah hal yang mudah. Berlaku sabar terkadang membuat seseorang cemas dan gelisah. Kerap kali pelakunya pun tak kuat, bahkan tidak jarang pula menyerah dengan keadaan. Mundur begitu saja dari sesuatu yang pada mulanya sudah diniatkan dan diharapkan.
Atau barangkali teralihkan dengan sesuatu yang lebih indah menurut pandangan, namun belum tentu pasti hal itu adalah yang sebenarnya ia harapkan. Dan sudah barang tentu hanya orang yang melalui suatu proses tertentu itulah yang secara pasti mengetahui faktor apa yang memicunya.
Bisa saja hal itu muncul dari kelalaian atau barangkali bisa saja terjadi karena keputusasaan. Namun hendaknya seseorang yang menginginkan atau bahkan mencari kebahagiaan dalam hidupnya itu selalu bersabar. Sebab sabar adalah kunci setiap persoalan. Dan ia juga merupakan sebagian akhlak yang mulia dan karunia Allah yang agung.
Sementara itu, dari segi kebahasaan sabar memiliki cakupan yang amat luas. Menurut Raghib Al-Ashfahani sabar dalam artian sempit adalah menahan. Namun demikian kata ini dapat pula digunakan dalam arti lain seperti mengurung, menghalangi, dan mengendalikan diri. Sebab kata sabar merupakan lafaz umum yang dapat berkembang maknanya sesuai dengan konteks yang terdapat dalam rangkaian kalimatnya. Seperti sabar dalam menerima cobaan adalah mengendalikan diri dalam menyikapinya. Kemudian sabar dalam berjuang adalah bentuk keberanian, dan sabar dalam menghadapi bencana adalah bersikap lapang dada menerima segala ketentuanNya.
Meskipun konteks sabar dalam setiap kondisi itu berbeda, namun tetap saja semua bentuk redaksinya itu terbingkai dalam satu bentuk kata yang mewakili keseluruhan istilah tersebut. Dan bentuk kata tersebut tak lain adalah sabar. Satu istilah yang dapat mewakili banyak makna. Tidak hanya sampai disitu, para ulama lainnya pun turut memberikan keragaman bentuk definisi mengenai kata sabar. Antara lain, Dzu Al-Nun Al-Mishri mengatakan bahwa sabar adalah menjauhkan diri dari larangan, tenang ketika mendapat musibah, dan merasa cukup meski bukan orang berada. Kemudian imam Al-Ghazali berpendapat Meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diinginkan oleh nafsu syahwat dan berpegang teguh kepada tuntunan agama. Menurut imam Al-Munawi, sabar adalah kemampuan melawan segala kecemasan dan penyakit hati.
Ketiga definisi di atas boleh jadi memiliki corak gambaran yang berbeda. Akan tetapi ketiganya berujung pada satu titik temu yang menerangkan bahwa kesabaran merupakan sebuah perjuangan yang diiringi tanggung jawab untuk mencapai kebaikan dengan cara mengendalikan diri ketika menghadapi sesuatu yang sulit, berat, lagi pahit. Perilaku sabar juga tidak dapat terlaksana apabila tidak disertai dengan kekuatan iman.
Sebab menghindari rayuan nafsu syahwat tidak dapat dilakukan secara sempurna apabila kekuatan iman tidak melebihi dorongan nafsu syahwat dalam diri seorang hamba. Sehingga kesabaran akan selalu berbanding lurus dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah, dan hal itu hanya akan dicapai dengan mengikuti kebenaran dan menjauhi kebatilan.
Pada fitrah aslinyanya hawa nafsu manusia lebih cenderung kepada kebatilan dan kurang menyukai kebenaran. Oleh karena itu seseorang yang selalu menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya, niscaya membutuhkan sabar. Walaupun kadang kala harus dilakukan dengan memaksa jiwanya agar mengikuti kebenaran atau dengan memaksanya menjauhi kebatilan.
Menurut Sayyid Abdullah Al-Haddad, sabar terbagi atas tiga bagian:
Pertama, sabar dalam melaksanakan ketaatan, yaitu secara batin berpegang pada keikhlasan dan kehadiran hati di dalamnya, dan secara lahir dengan terus-menerus mengerjakannya dengan rajin dan penuh semangat, sesuai dengan tuntunan yang dibolehkan agama. Sabar seperti ini dapat dibangkitkan dengan mengingat janji Allah bagi siapa saja yang mengerjakan ketaatan, berupa pahala yang segera ataupun yang mendatang. Dan yang berpegang pada kesabaran seperti ini pasti akan mencapai derajat kedekatan kepada Allah, dan pada saat itu pula ia akan merasakan puncak kenikmatan yang tak terperikan.
Kedua, sabar menghadapi maksiat. Ini akan terwujud secara lahir dengan menghindari serta menjauh dari tempat-tempat yang menjurus ke arahnya. Dan secara batin dengan mencegah hati dari memperkatakannya atau cenderung kepadanya. Hal ini mengingat bahwa permulaan dosa adalah sekilas pikiran. Adapun sabar dalam mengingat-ingat perbuatan-perbuatan dosa pada masa lalu, hanya diibenarkan apabila hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya rasa cemas dan penyesalan, namun apabila tidak demikian maka sebaiknya hal tesebut tidak perlu dilakukan. Di antara yang dapat menimbulkan kesabaran seperti ini adalah mengingat ganjaran yang diancamkan atas pelaku maksiat, baik secara langsung ataupun di masa mendatang. Dan siapa saja yang terus-menerus dalam kesabaran seperti ini, niscaya Allah akan memuliakannya dengan keengganan terhadap segala bentuk maksiat, sampai-sampai ia merasa lebih ringan masuk ke dalam api daripada melakukannya, meski yang paling ringan sekalipun.