Saya pernah berkata, "Kalau Timnas dibantai lagi, saya kapok nonton!" Tapi nyatanya? Saat laga berikutnya tiba, saya tetap duduk di depan layar, jantung berdebar, mata tak lepas dari bola yang bergulir.
Entah sudah berapa kali saya mengucapkan janji yang sama, dan entah sudah berapa kali saya mengingkarinya sendiri.
Sebagai suporter Timnas Indonesia, saya tahu betul rasanya berada di antara euforia dan kepedihan. Menang? Rasanya dunia jadi lebih indah, semua makanan terasa lebih enak, dan media sosial penuh pujian.
Tapi saat kalah, terutama jika dibantai, amarah menguasai. Mulai dari protes terhadap strategi pelatih, pemain yang kurang maksimal, hingga wasit yang terasa berat sebelah. Namun, yang lebih lucu adalah aku tetap saja menonton. Selalu.
Cinta yang Tak Bisa Dijelaskan
Apa yang membuatku terus bertahan sebagai suporter Timnas, meski sering kecewa? Saya pikir ini adalah cinta. Cinta yang terkadang bodoh, tetapi tetap tulus.
Saya tidak bisa begitu saja membenci atau meninggalkan Timnas, sebagaimana saya tidak bisa meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari hidup saya.
Mungkin ini seperti hubungan yang penuh dinamika. Ada fase bahagia, ada fase kecewa, tapi yang namanya cinta selalu mencari alasan untuk bertahan.
Ketika Timnas menang, aku merasa bangga seolah aku ikut bermain di lapangan. Ketika kalah, aku merasa terluka seolah aku yang berada di sana, merasakan derita para pemain.
Ucap saya "Aku nggak akan nonton lagi kalau Timnas kalah telak!" Itu sumpah serapah yang sering terlontar. Tapi janji itu hanya bertahan sebentar. Begitu pertandingan berikutnya datang, aku kembali menunggu kick-off dengan penuh harapan.
Lucunya, saya tahu bahwa peluang menang mungkin kecil, lawan mungkin lebih kuat, dan Timnas mungkin belum berada di level terbaiknya. Tapi saya tetap menonton, karena di dalam hati kecilku, selalu ada keyakinan: "Siapa tahu kali ini berbeda?"