Puasa Medsos sebagai Upaya Diet Informasi
Di bulan Ramadhan ini, puasa yang perlu kita lakukan salah satunya ialah puasa medsos. Mengapa? Sebab konsumsi medsos berlebih membuat kita over- capacity menerima informasi. Alias banjir informasi atau istilah bekennya "information overload".
Apakah banjir informasi itu buruk? No, at all. Informasi akan bervariasi, luas, dan selalu tersedia. But, kebanjiran informasi sedikit banyak akan mengganggu kesehatan pikiran dan jiwa kita. Informasi yang berlebihan akan membuat kebingungan dan memicu ketidakpastian.
Bayangkan...saat ini siapapun dapat memproduksi informasi yang bisa diunggah di akun media sosial masing-masing, termasuk sesimpel membuat story WA atau postingan Facebook. Siapa saja dapat menjadi penyampai informasi. Dari informasi penting hingga informasi receh semacam siapa nama kucing peliharaan teman yang sudah setahun tidak kita temui. Atau update terbaru hubungan pacaran saudara kita. Apa pentingnya kita tahu hal tersebut?
Oitttt...mari kita hitung, berapa informasi dalam sehari yang kita terima, (ambil mudahnya) dari jaringan pertemanan medsos kita? Melebihi puluhan bukan? Teman di WA, belum lagi Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain. Informasi apa saja yang kita dapatkan? Banyak sekali kan?
Pertanyaannya adalah apakah kita benar-benar membutuhkan informasi tersebut?
Puasa medsos menjadi salah satu rangkaian puasa yang saya jalankan di bulan Ramadhan ini. Alasannya? Saya mengurangi serapan informasi yang masuk ke otak saya. Karena kebanyakan informasi akan membuat saya pusing dan overthinking. Dampaknya saya akan menjadi kurang fokus dalam menjalankan keseharian saya.
Hal paling simpel yang saya lakukan adalah memilih status WA dari teman yang mana yang mau saya tonton. Meminimalisir waktu membuka Twitter, dan mengurangi menonton twitwar-twitwar yang berjubel. Mengurangi membuka medsos Instagram. Paling banyak hanya konsumsi tontonan YouTube. Itu pun dari akun yang itu-itu saja saya tonton. Hehehehe.
Manfaat apa yang saya rasakan setelah puasa medsos? Banyak. Saya jadi tidak memikirkan informasi tentang kehidupan orang lain yang dinamis, termasuk kehidupan teman saya di medsos. Membuat saya tak lagi membanding-bandingkan diri dengan pencapaian orang lain. Saya sedikit istirahat dari memikirkan betapa buruknya hari saya, jika dibandingkan dengan informasi mengenai kegembiraan teman-teman saya dalam hidup yang dipamerkan melalui medsos.
Saya lebih bisa fokus dengan diri saya setiap harinya. Aktivitas harian saya, pekerjaan saya, studi saya. Saya menikmati kehidupan saya, apapun warnanya. Tak lagi menengok kiri kanan kehidupan teman.
Terlepas dari beban ekspektasi sosial. Sebagai perempuan, sudah menjadi hal lumrah bahwa usia kita dipatok untuk melakukan hal-hal yang penting dalam hidup. Seperti menikah, punya anak. Di medsos pun teman-teman saya (terutama seumuran) sering memposting hubungan romansa mereka dengan pacar atau suami/istri, perayaan pernikahan,hingga perkembangan sang buah hati. Dengan meminimalisir menonton konten demikian (saya umur 25 tahun dan masih single), saya merasa bahwa saya baik-baik saja, normal adanya. Bahwasanya menikah bukanlah ajang balapan. Menikah bukan karena tuntutan sosial. Menikah butuh kesiapan. Dan usia tak bisa jadi satu-satunya patokan siap menikah.