Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana
Salat Tarawih yang Rusuh, Diakhiri dengan Segelas Es Dawet
Oleh karena banyaknya rakaat salat tarawih, kami anak-anak sering tidak kuat untuk mengikuti setiap rakaatnya. Mengaso di tengah-tengah salat berlangsung jadi kebiasaan kami.
Sebenarnya itu bisa dimaklumi. Wajar jika anak-anak merasa bosan dan lelah mengikuti salat yang lamanya hingga satu jam lebih.
Namun, saat beberapa anak sedang mengaso itulah kegaduhan demi kegaduhan terjadi. Seringnya ialah seorang anak yang sedang istirahat menggoda teman di sebelahnya. Caranya dengan menggelitik perut dan membisikkan kata-kata di dekat telinga untuk memancing tawa. Keisengan itu sering berhasil menghancurkan kekhusukan salat.
Sialnya, satu keisengan tak membuat kami puas. Maka terjadilah saling iseng yang disusul pembalasan-pembalasan berikutnya. Seperti menular, satu teman yang telah gugur salatnya karena keisengan teman lainnya berganti menggoda teman terdekatnya. Kali ini sarung yang jadi sasaran. Tawa akan pecah manakala upaya itu berhasil membuat sarung melorot dari pemakainya.
Perlu diakui di sini bahwa saya termasuk yang sering jadi korban sarung melorot. Sebab saat kecil saya tak pandai memakai sarung. Meski salah satu ujungnya telah dilipat dan disematkan di perut, hasilnya sulit rapi dan tidak kencang. Hanya dengan satu tarikan lemah, sarung itu pasti melorot. Pada kemudian hari, saya lebih suka mengenakan celana panjang ke masjid.
Selanjutnya tergantung kondisi dan adrenalin kami. Mana kala sudah dirasa cukup dan rakaat salat yang baru akan dimulai, kami kembali mengikuti tarawih. Tapi itu bukan jaminan kerusuhan tidak akan lagi terjadi. Kenyataannya selalu ada di antara kami yang memantik keisengan. Entah saat sedang ruku atau sujud, perbuatan jail bisa kembali terjadi. Kami jadi tak khusyuk salatnya karena harus waspada menjaga sarung agar tidak melorot atau bersiap menghindar kalau-kalau teman sebelah tiba-tiba mengambil peci dari atas kepala dan melemparkannya ke ujung ruangan masjid.
Untungnya hampir tak pernah saya jadi korban peci terbang. Sebab saat kecil saya tidak suka salat menggunakan peci. Namun, beberapa kali saya harus mencari pasangan sandal jepit yang tiba-tiba menghilang saat tarawih selesai. Biasanya oleh keisengan di antara kami sandal-sandal itu disembunyikan di dalam semak yang memagai halaman masjid.
Salat tarawih di kampung kami dahulu selalu selesai sekitar pukul 21.00. Terbilang cukup malam untuk kami para bocah.
Walau demikian saya selalu menyukai perjalanan pulang dari masjid. Sebab dahulu keistimewaan sering saya dapatkan usai tarawih. Berupa segelas es dawet kacang ijo.
Padahal waktu hari-hari biasa orang tua mengekang kebebasan saya untuk meminum es. Latar belakang masalah kesehatan membuat saya harus menjaga jarak dengan minuman dingin saat kecil.
Anehnya saat Ramadan larangan itu dilonggarkan. Orang tua mengizinkan saya menikmati segelas dua gelas minuman es. Paling sering es teh saat berbuka. Lalu es dawet kacang ijo yang dibeli di pinggir jalan depan masjid.