Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana
Salat Tarawih yang Rusuh, Diakhiri dengan Segelas Es Dawet
Kalau dipikir mendalam, momen berpuasa semasa kecil yang paling membekas dan seringkali datang lagi dalam ingatan ketika dewasa ialah ketika salat tarawih di masjid.
Tidak seperti sekarang yang ramai dengan masjid dan musala, kampung halaman saya dulu hanya punya satu masjid besar. Itu masjid kampung yang berarti di sana setiap malam pada bulan Ramadan ramai jamaah dari beberapa RT bersujud bersama.
Ramainya mirip seperti ada hajatan karena penjual aneka makanan, minuman dan mainan berjejer di ruas jalan di depan masjid. Penjual jagung bakar, serabi dan es dawet kacang ijo jadi kesukaan saya.
Pergi ke masjid saya suka berangkat berombongan dengan teman-teman sepermainan. Biasanya kami janjian untuk saling menjemput terlebih dahulu. Untuk itu selepas makan berbuka, saya sering berpamitan lebih awal. Jika bukan untuk menjemput teman-teman, maka saya yang sudah dijemput oleh mereka. Hari-hari tertentu saya berangkat bersama bapak dan kakak.
Jika berangkat bersama teman-teman, kami suka lewat jalan pintas menerabas kebun-kebun yang saat itu masih banyak dijumpai sebagai halaman belakang maupun depan rumah tetangga. Mencari rambutan, mangga atau buah-buahan lain yang mungkin terjatuh jadi aktivitas selingan yang menyenangkan sembari menuju masjid. Kebun di samping rumah dulu pun jadi kediaman bagi belimbing dan mangga yang lumayan rajin berbuah. Oleh karena suasananya yang rindang dan tanahnya yang datar, kebun itu jadi salah satu tempat bermain saya dan teman-teman di kala siang hingga sore.
Sedangkan jika berangkat bersama bapak dan kakak, rutenya lebih membosankan. Kami hanya berjalan lurus dari depan rumah menuju ujung gang yang jauhnya sekitar 200 meter. Lalu di ujung gang kami berbelok ke utara mencapai perempatan desa. Sesampainya di sana kami menyeberang jalan besar dan langsung menuju ke timur. Jaraknya kira-kira hanya 100 meter karena dari perempatan jalan itu masjid sudah nampak temboknya.
Setiba di masjid saya segera memisahkan diri dari bapak dan kakak. Bergabung dengan gerombolan teman-teman yang suka duduk-duduk di dekat bedug.
Sudah barang tentu keisengan kami dengan bedug itu seringkali membuat rusuh suasana masjid menjelang dan sesudah salat tarawih. Sebab masing-masing anak berebutan untuk memukul bedug. Kayu yang disediakan sebagai pemukul pun sering terlempar ke sana ke mari oleh tangan-tangan kami.
Pengurus masjid dan para orang tua bukan tidak peduli dengan polah kami para bocah. Kadang kayu itu tak kami jumpai karena sengaja disembunyikan atau diambil untuk disimpan. Kami tak hilang akal. Memukul pakai tangan jadi pilihan. Sandal dan peci pun sering kali berubah fungsinya.
Namun, tak ada kerusuhan yang lebih heboh selain yang terjadi di tengah-tengah salat tawarih berlangsung. Sejak dulu masjid kampung kami menyelenggarakan tarawih 23 rakaat. Kabar dari orang tua, hingga kini pun kebiasaan itu masih berlanjut.
Oleh karena banyaknya rakaat salat tarawih, kami anak-anak sering tidak kuat untuk mengikuti setiap rakaatnya. Mengaso di tengah-tengah salat berlangsung jadi kebiasaan kami.
Sebenarnya itu bisa dimaklumi. Wajar jika anak-anak merasa bosan dan lelah mengikuti salat yang lamanya hingga satu jam lebih.
Namun, saat beberapa anak sedang mengaso itulah kegaduhan demi kegaduhan terjadi. Seringnya ialah seorang anak yang sedang istirahat menggoda teman di sebelahnya. Caranya dengan menggelitik perut dan membisikkan kata-kata di dekat telinga untuk memancing tawa. Keisengan itu sering berhasil menghancurkan kekhusukan salat.
Sialnya, satu keisengan tak membuat kami puas. Maka terjadilah saling iseng yang disusul pembalasan-pembalasan berikutnya. Seperti menular, satu teman yang telah gugur salatnya karena keisengan teman lainnya berganti menggoda teman terdekatnya. Kali ini sarung yang jadi sasaran. Tawa akan pecah manakala upaya itu berhasil membuat sarung melorot dari pemakainya.
Perlu diakui di sini bahwa saya termasuk yang sering jadi korban sarung melorot. Sebab saat kecil saya tak pandai memakai sarung. Meski salah satu ujungnya telah dilipat dan disematkan di perut, hasilnya sulit rapi dan tidak kencang. Hanya dengan satu tarikan lemah, sarung itu pasti melorot. Pada kemudian hari, saya lebih suka mengenakan celana panjang ke masjid.
Selanjutnya tergantung kondisi dan adrenalin kami. Mana kala sudah dirasa cukup dan rakaat salat yang baru akan dimulai, kami kembali mengikuti tarawih. Tapi itu bukan jaminan kerusuhan tidak akan lagi terjadi. Kenyataannya selalu ada di antara kami yang memantik keisengan. Entah saat sedang ruku atau sujud, perbuatan jail bisa kembali terjadi. Kami jadi tak khusyuk salatnya karena harus waspada menjaga sarung agar tidak melorot atau bersiap menghindar kalau-kalau teman sebelah tiba-tiba mengambil peci dari atas kepala dan melemparkannya ke ujung ruangan masjid.
Untungnya hampir tak pernah saya jadi korban peci terbang. Sebab saat kecil saya tidak suka salat menggunakan peci. Namun, beberapa kali saya harus mencari pasangan sandal jepit yang tiba-tiba menghilang saat tarawih selesai. Biasanya oleh keisengan di antara kami sandal-sandal itu disembunyikan di dalam semak yang memagai halaman masjid.
Salat tarawih di kampung kami dahulu selalu selesai sekitar pukul 21.00. Terbilang cukup malam untuk kami para bocah.
Walau demikian saya selalu menyukai perjalanan pulang dari masjid. Sebab dahulu keistimewaan sering saya dapatkan usai tarawih. Berupa segelas es dawet kacang ijo.
Padahal waktu hari-hari biasa orang tua mengekang kebebasan saya untuk meminum es. Latar belakang masalah kesehatan membuat saya harus menjaga jarak dengan minuman dingin saat kecil.
Anehnya saat Ramadan larangan itu dilonggarkan. Orang tua mengizinkan saya menikmati segelas dua gelas minuman es. Paling sering es teh saat berbuka. Lalu es dawet kacang ijo yang dibeli di pinggir jalan depan masjid.
Kini, Ramadan demi Ramadan telah berlalu. Masjid di kampung telah berubah bentuk bangunannya. Namun, semua cuplikan peristiwa yang lalu masih melekat di ingatan seperti rangkaian gambar yang menjalin kenangan lembut dan manis.