Dokter, Penulis, Pembicara Publik, dan Penikmat Kopi. Tulisan lainnya dapat dilihat di whitecoathunter.com
Puasa dan Penyakit Asam Lambung: Antara Iman, Ilmu, dan Sakit Perut
Yang sering jadi masalah itu bukan puasanya, tetapi kebiasaan makan kita. Coba jujur, seberapa sering kita buka puasa langsung seruput es teh manis? Berapa banyak yang berbuka dengan gorengan, makanan pedas, santan kental? Setelah itu perut terasa perih, lalu kita dengan santainya bilang, "Duh, puasa bikin sakit maag ku kambuh."
Lha, ini bukan salah puasanya, tetapi salah caranya berbuka.
Lambung yang sudah kosong seharian langsung dipaksa kerja keras dengan makanan yang tidak ramah. Minuman dingin bikin otot lambung kaget, makanan berlemak bikin pencernaan lebih lambat, dan makanan pedas makin memperparah iritasi lambung. Tidak heran kalau hasil akhirnya perut terasa nyeri, mulas, bahkan asam lambung naik ke tenggorokan. Pasien dengan penyakit asam lambung kalau mau tetap puasa, bisa tidak? Bisa, asal ada taktiknya.
Mulai dari berbuka dengan makanan yang lembut dan mudah dicerna, hindari makanan pemicu asam lambung, dan tetap jaga pola makan saat sahur. Obat-obatan juga bisa disesuaikan biar lambung tetap aman selama puasa. Namun, kalau sudah coba berbagai cara dan tetap tidak kuat? Ya sudah, jangan dipaksa.
Islam itu tidak kejam. Kalau kondisi kesehatan memang tidak memungkinkan, ada keringanan. Tidak perlu merasa kurang beriman hanya karena tidak bisa puasa. Allah SWT juga sudah jelas menyebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 184, bahwa "(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." Ibadah itu banyak bentuknya, bukan cuma menahan lapar dan haus.
Masalahnya, tekanan sosial kadang lebih menyakitkan daripada sakit lambung itu sendiri. Ada yang tetap maksa puasa bukan karena mampu, tetapi karena takut dianggap kurang taat. Ada yang diam-diam minum obat di kamar mandi supaya tidak ketahuan orang. Ada juga yang akhirnya memilih tidak ke masjid supaya tidak perlu menjawab pertanyaan yang bikin hati tidak enak. Padahal, yang tahu kondisi tubuh kita ya diri kita sendiri.
Saya menatap rekan kerja saya yang masih terlihat ragu. "Jadi menurut dokter, saya harus tetap coba puasa atau tidak?" tanyanya.
Saya tersenyum. "Dengerin tubuh sendiri. Kalau masih bisa diatur dengan pola makan yang lebih baik, boleh dicoba. Jangan lupa konsultasi ke dokter spesialis penyakit dalam terkait obat yang diminum selama puasa. Namun, kalau udah jelas-jelas bikin tambah sakit perut, ya jangan dipaksa!
Dia tertawa kecil. "Jadi kalau saya tidak puasa, tidak dosa dok?"
"Yang dosa itu kalau tahu lambungnya tidak kuat puasa, tetap maksa puasa, terus malah bikin teman-teman di IGD pontang-panting sibuk untuk bantu mengobati sakit perutnya."
Kami tertawa bersama. Ramadan bukan cuma soal nahan lapar. Ini juga soal memahami diri sendiri, termasuk batasan tubuh kita. Puasa bukan sekadar ritual fisik. Ini perjalanan spiritual yang seharusnya membawa kedamaian, bukan penderitaan. Dan dalam perjalanan itu, setiap orang punya jalannya sendiri.
Content Competition Selengkapnya
MYSTERY CHALLENGE
Instagram Reels
Reportase Kondisi Pasar Jelang Lebaran
Cerita Mudik
Suka Duka Menyiapkan Sajian Idul Fitri
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.
Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025