Ibadah Mawas Diri dan Stop Menagih Simpati
Momentum ramadan kerap diwarnai dengan berbagai moto dan visi spirit keagamaan yang diseragamkan. Bahwa setiap muslim wajib berpuasa iya, tetapi apakah kemudian nilai-nilai dari puasa itu membekas? kadang malah menyikasakan banyak tanya.
PR yang besar bagi umat islam adalah inklusifitas. Keterbukaan dalam arti sangat luas. Bukan semata membuka diri, tetapi juga menghormati liyan.
Setiap bulan ramadan selalu diusung tema religius, dan dipukul rata. Setidaknya harapan untuk semua umat muslim menerima gagasan dogmatis itu.
Secara syar'i wajib hukumnya berpuasa, mendekatkan diri kepada Tuhan, menumbuhkan sikap religiusitas, tanpa menimbang dan memandang secara terbuka ragamnya kondisi umat muslim.
Sebagai personal pasti setiap umat muslim memiliki problemnya masing-masing. Terlebih dalam menjalankan perintah dan titah Tuhan. Karena untuk ukuran "sama" dalam praktis keagamaan bisa saja, tetapi tingkat spirit dan kedalaman pemahaman serta perilaku agamanya berbeda-beda. Apalgi dalam konteks keimanan.
Jangan sampai harapan yang senantiasa menggaung di bulan ramadan justru menjadikan orang lain yang tidak memiliki kesamaan dalam spirit beragamanya merasa minder, overthinking dan lain sebagainya.
Misalnya, ada tokoh agama yang mengatakan bahwa jangan sampai melakukan maksiat sedikitpun di bulan ramadan, dengan mengambil contoh kecil tidak puasa karena alasan bekerja dan lain sebagainya.
Tidak puasa itu dianggap sebagai kemaksiatan. Padahal islam sangat terbuka, punya keringanan kok bagi mereka yang yang sedang diperjalanan, sakit dan - atau memang tidak mampu untuk berpuasa (Suyuh).
Alangkah akan berkecil hati mereka yang tidak memiliki kesempatan berpuasa karena harus memenuhi kebutuhan keluarga. Memang benar ramadan adalah bulan penuh rahmat, tapi ingat, setelah ramadan ada hari raya yang menuntut kondisi sosial untuk serba baru pakaianya, belum kue di atas meja, uang saku buat keponakan-keponakan dan lain sebagainya. Ada kebutuhan material yang harus dipenuhi.
Tanpa di sadari perilaku pasca ramadan bukan lagi perilaku spirit sosial keagamaan, tetapi gengsi personal yang sudah dinormalisasi. Oleh sebab itu, tidak bisa secara keimanan kita menghukumi kondisi dan sikap beribadah seseorang. Jangan sampai disamakan antar kondisi yang sedang dijalani.
Content Competition Selengkapnya
MYSTERY TOPIC
Gadai Peduli Solusi Keuangan Masyarakat
Kasih Bocoran Outfit Lebaran
MYSTERY CHALLENGE
Instagram Reels
Reportase Kondisi Pasar Jelang Lebaran
Bercerita +SELENGKAPNYA
Ketemu di Ramadan

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.
Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025