Mengintip Tadarasun Ala Nusantara di Bulan Ramadhan
Ketika saya bersama rekan-rekan ziarah ke Makam Rabiah Al-Adawiyah di Cairo tahun 2018. Seorang Tour Gudie dari Mahasiswa Al-Azhar Al-Syarif nyeletuk dengan spontanitas "Alquran diturunkan di Makkah, dibaca di Mesir dan diamalkan di Indonesia". Pernyataan itu muncul karena sebuah pernyataan saya "kenapa Mesir itu kumuh, kotor, padahal banyak sekali penghafal Alquran. Wong sopir bis saja hafal Alquran.
Nah, ketika memasuki Indonesia, ternyata memang banyak sekali orang yang tidak bisa membaca Alquran, namun walaupun tidak bisa membaca Alquran, perilaku mereka sangat santun, ramah, dan juga bersih jika dibandingkan Mesir. Bahkan, tradisi masyarakat Nusantara selaras dengan nilai-nilai Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW.
Pernyataan di atas menegaskan bahwa orang islam Indonesia itu kadang lebih mampu membumikan Alquran dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga, masyarakat, dan bernegara. Khususnya di bulan suci Ramadhan, hampir semua musolla, masjid melaksanakan tarawih dan juga tadarusan (membaca Alquran secara kolektif). Menjelang Idul fitri, semua saling berbagi makanan kepada sesama, ziarah kubur yang mengingatkan akan kematian.
Membaca Alquran itu bukan saja yang tertulis di mushaf. Namun, alam semesta juga termasuk ayat Allah SWT yang tersirat, sekaligus tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Jangan sampai rajin membumikan Alquran yang ter surat (tertulis), sehingga lupa membumikan Alquran yang tersirat.
Tradisi Ngaji Kitab Suci Masyarakat Indonesia
Para sahabat Rasulullah SAW, dan salafussolih mereka memiliki sebuah tradisi menarik dan sangat asyik. Ketika bulan suci Ramadhan, saat berjumpa dengan rekan-rekannya, mereka selalu bertanya "sudah berapa juz Alquran yang sudah dibaca hari ini". Nah, kalau Rasulullah SAW terbiasa membaca Alquran bersama Jibril as (tadarusan).
Membaca Alquran bagi mereka sudah menjadi budaya. Tiada hari tanpa membaca Alquran. Mereka bukan saja mampu mentradisikan diri membaca Alquran sehari-hari, namun prialku mereka juga santun kepada sesama. Itulah yang ditiru oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Walaupun tidak dipungkiri, sebagian besar dari masyarakat Indonesia tidak bisa membaca Alquran, namun perhatian mereka terhadap Alquran sangat besar. Lihat saja, ketika melihat tadarusan di sebuah masjid, walaupun tidak bisa membaca, mereka tetap berpartisipasi dengan berbagi apa yang dimiliki kepada mereka yang sedang tadarusan.
Generasi sahabat dan tabiin, serta ulama salaf, bahkan sekarang memiliki kebiasaan khatam Alquran dalam waktu yang begitu cepat. Walaupun ada juga yang tidak bisa membaca Alquran. Itulah realitas yang tidak bisa terelakkan. Ada sebuah hadis Rasulullah SAW yang mengisaratkan bahwa membaca Alquran gratul-grtul (taktak) juga mendapat pahala. Perhatian saja terhadap orang yang belajar Alquran mendapat pahala.
Membaca Alquran itu menurut Ibn Qoyyim ada dua cara. Pertama yaitu membaca Alquran sebanyak-banyaknya. Kalau perlu sehari khatam 2-4 kali. Imam Nawawi di dalam kitab Al-Adkar menyebutkan "sebagian ulama ada yang menghatamkan Alquran sehari semalam depapan kali". Dengan perincian, 4 kali di siang hari dan 4 kali di malam hari. Orang yang membiasakan khatam 8 kali sehari semalam adalah Sayyid Al-Jalil Ibn Al-Katib Al-Sufi. Kayaknya mau meniru seperti sangat tidak mungkin.
Masih menurut Imam Nawawi, ternyata Imam Mujahid ra, menghatamkan Alquran antara Magrib dan Isak. Sementara Sahabat Usman Ibn Affan, Tamim Al-Dari, Said Ibn Jubair ra, mereka menghatamkan Alquran dalam satu rakaat witirnya. Kayaknya ini juga sangat berat bagi umat Rasulullah SAW pada umumnya yang hidup di era milenial.