Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Blogger

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Kenangan Membuat Wajik Bandung Bersama Keluarga di Setiap Lebaran

21 April 2023   20:45 Diperbarui: 21 April 2023   20:46 2567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenangan Membuat Wajik Bandung Bersama Keluarga di Setiap Lebaran
Ilustrasi gambar wajik bandung (Cookpad/Esih Kurniasih) 

Hasilnya kami taruh di tampah yang lebar agar cepat kering. Setelah didiamkan atau kalau perlu dijemur selama kurang lebih satu hingga 2 jam maka wajik bandung sudah mengering dan siap untuk disimpan.

Wajik bandung buatan ibu biasanya tahan hingga satu bulan. Cara agar bisa tahan lama adalah dengan memastikan adonan benar-benar sudah tanak baru kemudian diangkat. Sama halnya dengan wajik lain, untuk membuat wajik bandung dibutuhkan kesabaran karena harus terus mengaduk selama berjam-jam.

Saya sendiri pernah mencoba membantu mengaduk dan ternyata memang berat dan tidak mudah. Baru beberapa menit tangan sudah pegal dan panas, akhirnya saya pun menyerah dan memilih untuk menyiapkan kertas saja.

Selain untuk sajian lebaran, wajik bandung yang kami buat  juga digunakan untuk isian parcel ke sanak keluarga dan saudara. Bungkusnya yang berwarna-warni membuat tampilan parcel semakin cantik dan menarik.

Wajik bandung buatan ibu lebih sering diserbu tamu. Memang di pasar ada juga yang menjual wajik bandung dengan ukuran lebih kecil dari yang saya buat tapi rasanya berbeda. Wajik bandung yang dijual dipasaran rasa kelapanya lebih dominan sementara punya ibu saya rasa ketannya yang lebih dominan.

Sayangnya tahun ini kami tidak membuatnya, semua orang sudah sibuk sendiri-sendiri sementara saya pulang kampung sudah mepet hari raya. Ibu sendiri sudah lelah dan semakin tua sehingga memilih membeli kue-kue yang sudah jadi.

Jika ditarik jauh ke belakang, sepertinya kebiasaan itu mulai hilang semenjak pandemi. Saya tidak pulang dan tak ada yang membantu ibu membuatnya. Sejak saat itu kami tidak pernah lagi membuat wajik bandung bersama-sama.

Ketika pandemi saya sempat tidak pulang selama 2 tahun lebaran. Di perantauan saya memberanikan diri mencoba untuk membuat wajik bandung sendiri bersama suami. Iya jadi sih jadi tapi entah kenapa lembek terus dan tidak bisa mengeras. Hasilnya malah seperti jenang dodol.

Itulah tadi cerita saya dengan wajik bandung. Bukan rasanya saja yang manis tapi juga kenangan ketika membuatnya bersama keluarga.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun