#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id
Sound of Borobudur, Khazanah Musik Nusantara untuk Dunia
Kemegahan Borobudur selalu memikat hati. Pantas kalau Candi Borobudur dianggap sebagai candi Budha terbesar di dunia. Bangunan yang eksotis ini tak hanya menarik wisatawan lokal, tetapi juga wisatawan mancanegara. Magnet pariwisata Indonesia yang tiada tandingannya.
Candi Borobudur dibangun pada masa Dinasti Syailendra sehingga kerap dijadikan tempat ibadah umat Budha. Beberapa tahun silam, aku pernah niat untuk ikut trip Borobudur saat peringatan Hari Waisak. Hanya saja, pendaftaran trip itu sudah tutup lebih awal karena antusias masyarakat begitu tinggi untuk mengunjungi tempat sakral ini. Apalagi dalam trip akan diadakan pelepasan 1.000 lampion saat kegelapan malam.
Akhirnya, aku hanya berkesempatan ikut Virtual Nusantara Trip "Goes to Candi Borobudur" yang diadakan komunitas Young on Top (YOT) pada 12 April 2021 lalu. Meski hanya melalui aplikasi zoom, aku sungguh menikmati keindahan setiap sudut candi Borobudur. Aku seolah diajak berkeliling di bawah pepohonan rindang sambil berjalan di atas rumput hijau. Hawanya tampak sejuk.
Sayangnya, pengunjung tak bisa menaiki anak tetangga menuju puncak candi selama pandemi. Untuk berkeliling candi Borobudur, pengelola hanya menyediakan shuttle bus, mobil kereta, mobil golf, mobil Volkswagen dengan kap terbuka, dan kereta andong.
Pihak pengelola Candi Borobudur mengatakan bahwa keindahan, fasilitas, dan layanan terhadap pengunjung selalu ditingkatkan dari waktu ke waktu. Pengelola berkeinginan untuk menumbuhkan jiwa petualangan bagi para pengunjungnya. Selain itu, pengelola berharap agar setiap pengunjung bisa menambah wawasan setelah mengunjungi tempat bersejarah ini.
Penataan spot lokasi wisata yang apik tentu menyimpan sejarah tersendiri. Sebanyak 2.762 panel relief terpahat di candi bercorak Budha ini. Relief tersebut sungguh filosofis karena menjadi bukti peradaban manusia yang hidup puluhan tahun lalu.
Dari sekian banyak makna relief yang tersembunyi, ada fakta seni musik yang terkuak. Fakta ini bagai mahakarya yang sengaja ditinggalkan para leluhur bagi generasi pewarisnya seperti kita. Untuk direnungi, dipelajari, dan dimaknai sebagai kekayaan budaya nusantara.
Ternyata, Candi Borobudur memiliki 226 relief instrumen musik jenis aerophone (tiup), cordophone (petik), idiophone (pukul), dan membranophone. Ditambah lagi 45 relief ansambel yang menghiasi dinding candi. Relief alat musik pada Candi Borobudur ini menjadi bukti bahwa seni musik sudah digaungkan sejak masa prasejarah.
Sekelompok musisi mulai berinovasi dengan melakukan riset dan mewujudkan alat musik yang terpahat di reliefnya. Perangkat dawai dan alat gerabah yang sudah punah harus direkacipta. Instrumen musik yang pernah muncul perdana abad ke-8 dipertemukan dengan berbagai alat musik lain yang dikumpulkan dari 34 provinsi di Indonesia.
Trie Utami, Dewa Budjana, dan Purwa Caraka telah berkolaborasi menghasilkan karya musikal. Mereka memproduksi komposisi dan aransemen sehingga membunyikan relief dalam konsep intrepretasi irama kekinian. Relief itu berkumandang dalam tajuk Sound of Borobudur.
Gerakan kebangsaan melalui budaya ini menjadi proses kreatif panjang dengan berbagai tahapan. Ada kenangan ribuan tahun yang terpendam dimanfaatkan bersama semangat Indonesia Maju. Gerakan karya anak-anak bangsa seperti ini layak diapresiasi sebab mampu merekatkan persaudaraan lintas bangsa sehingga menemukan jati diri bangsa yang berbudaya tinggi.
Penguatan budaya nusantara melalui Sound of Borobudur terus dikaji. Konferensi ilmiah tingkat Internasional hadir dengan pendekatan sejarah. Kajian tersebut juga digelar untuk mengungkap persilangan antara aspek ekonomi, politik, dan budaya yang menjadi refleksi dalam keberadaan candi dan relief yang terpahat pada dindingnya.
Borobudur pusat musik dunia yang tak lekang oleh waktu. Aku pernah belajar media and cultural studies, menurutku konsep Borobudur sebagai pusat musik dunia ini justru akan menjadi simbol toleransi. Hal tersebut dilatarbelakangi dari keberagaman yang ada di Indonesia dan telah terpahat pada relief-relief candi ini. Tentu, perhelatan Sound of Borobudur bisa dinikmati oleh siapa saja tanpa memandang suku, agama, ras, dan antar golongan.
Selain memadukan seni musik dan seni pertunjukkan, aku berharap Sound of Borobudur bisa menampilkan unsur tradisi dan kontemporer. Seni pertunjukkan yang bisa disuguhkan melalui Sound of Borobudur bisa mengiringi kisah-kisah legenda yang ditampilkan dalam bentuk drama musikal. Begitu juga para penampil yang unjuk bakat bisa terus mengenakan pakaian-pakaian adat dari seluruh nusantara, khususnya pakaian adat Jawa atau busana nasional bermotif batik. Bagi Kompasianer yang ingin melihat penampilan musisi pada seminar dan lokakarya pada awal April lalu, bisa mengunjungi kanal YouTube Sound of Borobudur.
Semoga Sound of Borobudur mampu menjadi identitas budaya yang bernilai budaya dan sejarah tinggi. Sudah saatnya semua pihak berkolaborasi untuk menghasilkan karya dan meningkatkan rasa cinta serta bangga terhadap bangsa Indonesia. Cinta budaya itu merupakan wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia karena yang menyatukan bangsa adalah budaya dan latar belakang sejarah yang pernah dilaluinya.
Bagi Kompasianer yang berencana libur lebaran di daerah Magelang, cobalah berkunjung ke Candi Borobudur dan lihat langsung kemegahan wisata budaya serta sejarah didalamnya. Jangan lupa untuk tetap patuh protokol kesehatan yang berlaku dan jaga kelestarian Candi Borobudur sebagai warisan bangsa yang sudah berumur ratusan tahun, tapi tetap memesona dunia karena menyimpan khazanah musik nusantara. Wonderful Indonesia!!