Ramadan: Takjil, Mancing dan Kenangan
Bermain bedil bambu. Sumber: Katakepri.com
Apa yang kau inginkan dari kenangan? Kehadirannya! Seolah waktu dilipat, dan hamparan kejadian masa lalu tersaji. Ada haru, ada tetesan air mata saat mengingat. Ya, kenangan tetaplah kenangan. Hadir saat kita mengingatnya.
---
Waktu Ramadan tiba adalah kebahagiaan. Anak kecil akan mempersiapkan segala sesuatunya untuk Ramadan. Termasuk saya, di waktu lampau. Ramadan adalah penantian. Baju baru, petasan, long pendem, dan mancing di sungai sambil nunggu bedug berbunyi. Sederet kisah nostalgia saat mengenang Ramadan waktu kecil.
Pada 1990-an, saya masih sekolah dasar. Dan presidennya masih Pak Harto. Bagiku itulah momen yang sangat berkesan. Sore hari, bersama teman-teman ada aktivitas yang selalu kami lakukan: mancing. Mancing bareng di sungai yang masih jernih dan masih banyak ikannya. Mulai kepiting air sampai ikan wader, melem, lele dan juga oling.
Sebelum berangkat kami akan berbagi tugas, nyari cacing di pohon pisang yang sudah busuk. Cacing warna merah kecil itulah yang paling disukai ikan ataupun kepiting air.
Saya masih ingat, itu tugas permanen dari Osen. Teman yang paling lihai mencari umpan cacing pisang. Osen akan membagi cacingnya ke siapa saja yang mancing. Dirinya suka berperan sebagai penyedia logistik mancing. Osen cacing, terkadang nama itu yang melekat.
Setelah semua lengkap kami berangkat bersama ke sungai. Lokasi tidak terlalu jauh. Lima belas menit jalan kaki dari rumah kami. Sepanjang jalan kami akan merencanakan acara malamnya. Membicarakan takjil yang akan disuguhkan nanti di mushollah.
Itu pembicarakan paling kami sukai. Seolah pembicaraan paling krusial. Apalagi kalau yang bawa takjil orang kaya sehingga pastinya melimpah. Kami semua akan kenyang pastinya. Satu malam ada empat sampai lima orang yang bawa takjil. Mulai pisang goreng, kolak, ketan kirip atau es cendol. Itu sudah kebiasaan.
Sore hari pukul tiga sore yang bawa takjil akan diumumkan oleh Mbak Nawari lewat speaker mushollah. "Menthik, Mesati, Enis, Emun, Yaroh" Mbah Nawari menyebut nama-nama yang harus bawa takjil nanti malam. Orang yang disebut akan saling bertanya di antara yang sudah dipanggil. Agar tidak sama menu yang dibawa.
Mbah Nawari adalah sosok imam besar di mushollah kecil di dusun kami. Siapa pun akan mendengar dari pengumuman heroik tersebut. Kami menantikan setiap sore. Sama seperti kami merindukan suara tahrim.
Bagi yang disebut namanya itu sebuah kehormatan. Bagi yang mendengar itu sebuah harapan. Mereka akan menyiapkan sebaik-baiknya. Kalau bisa sebanyak-banyaknya. Itu sebuah kehormatan bercampur gengsi. Bagi yang mendengar bisa membayangkan nantinya akan mendapat takjil apa di mushollah. Situasi yang ngangeni dan seru.