Dr. Agus Hermanto adalah dosen di salah satu Perguruan Tinggi di Lampung, selain itu juga aktif menulis buku, jurnal, dan opini. Penulis juga aktif di bidang kajian moderasi beragama, gender dan beberapa kajian kontemporer lainnya.
Hampir Sirnanya Tradisi Beduk dan Kentongan di Masjid
Filosofi Beduk dan Kentongan Beduk adalah suatu alat yang menimbulkan suara apabila dipukul, "duk, duk, duk" begitulah suaranya, sehingga dinamakan beduk sesuai bunyi suara yang dihasilkannya. Beduk umumnya terbuat dari bahan kayu pilihan yang keras, sehingga tidak mudah pecah dan nyaring suaranya, dari kayu yang keras dan besar itulah kemudian dipotong seukuran yang dibutuhkan dan kemudian diberi lubang dari ujung ke ujung sepanjang potongan tersebut hingga membentuk seperti tabung atau sejenis bambu yang dipotong dengan dibuang dua ruasnya.
Setelah diberi lubang kemudian dipasang salah satu ujung kayu potongan tersebut hingga melekat sebuah kulit binatang, baik kulit sapi atau kambing yang biasanya telah disediakan, mungkin dari kulit binatang kurban atau sengaja diambil dari penyembelihan lain yang telah dijemur dalam waktu yang lama hingga mengering dan kemudian sebelum dipasang direndam agar dapat dipasang, setelah dipasang dengan rapi maka kemudian dijemur kembali delam bentuk beduk sampai benar-benar mengering agar menimbulkan suara yang nyaring.
Sedangkan kentongan biasanya terbuat dari bahan yang sama, yaitu kayu yang sangat keras sebagaimana beduk, namun tidak membutuhkan kayu keras dan besar seperti halnya beduk, hanya membutuhkan keras dan alot karena kayu tersebut akan menimbulkan bunyi berbeda yaitu "tong, tong, tong" begitulah bunyi suara yang dihasilkannya.
Kentongan yang terbuat dari bahan kayu tadi diberi lubang pada sepanjang kayu yang telah dipotong sesuai kebutuhan tersebut, lubang yang dibutuhkan bukan pada sepanjang ujungnya sebagaimana beduk, melainkan dipinggir menyerupai luweng, dengan dilubangi seluruh dalam kayu hingga menimbulkan bunyi tong, tong, tong, dan dari sumber suara itulah diberi nama kentongan. Adapun kegunaan beduk dan kentongan sebagai sumber suara di masjid-masjid, mushala atau surau pada masa lalu, karena suaranya yang begitu keras itulah hingga perpaduan kentongan dan beduk itu menjadi ciri khas panggilan shalat di masjid.
Kentingan yang suaranya sangat keras, sejatinya biasa juga digunakan sebagai alat yang mengisyaratkan suatu kejadian di desa, misalnya ada yang meninggal dipukul tujuh kali pukulan, ada kerja bakti dipukul tiga kali pukulan, ada kebakaran dipukul lima kali pukulan sesuai kesepakatan, begitu juga ketika ada bahaya yang melanda dipukul dengan pukulan yang tidak terhitung dengan sering hingga semua masyarakat mendengarkan dan kumpul di satu titik, kentongan ini biasanya ada di rumah pak Lurah atau Carek atau pemangku desa tersebut.
Selain suaranya yang sangat keras, namun juga khas dan tradisional. Untuk membedakan kegiatan di kampung dan masjid, maka ditambahkan dengan suara beduk yang juga memiliki bahan yang berbeda dan suara yang berbeda serta khas tradisi masyarakat islam Nusantara peninggalan para wali saat berdakwah. Tentunya perpaduan keduanya bukan tanpa filosofi, melainkan suatu renungan yang mendalam hingga cocok perpaduan nya.
Pada hari Jum'at karena masyarakat Nusantara sebagian besar adalah petani hingga biasanya beduk dipukul dan dibunyikan tiga kali dalam jarak waktu yang berdekatan, pukulan pertama sebagai isyarat untuk berkumpul di masjid namun belum masuk atau waktu shalat jumat sudah dekat tapi belum dilaksanakan shalat, pukulan kedua juga demikian, hingga pukulan ketiga sudah perpaduan antara kentongan dan beduk, sebagai isyarat bahwa shalat jumat akan dimulai karena sudah masuk waktu dhuhur.
Tradisi beduk dan kentongan ini telah menjadi tradisi masyarakat tradisional, hal ini karena pada masa lalu belum banyak sumber suara, sehingga dua alat tersebut dapat mewakili sumber suaranya di masjid sebelum adanya suara spiker, bahkan setelah spiker adapun alat tersebut adapun tetap digunakan, karena telah mengakar di masyarakat. Semakin berkembangnya teknologi, maka kentongan dan beduk acap kali terlupakan dari sejarah, hingga kini hampir sirna, atau bahkan hanya menjadi simbol saja dan tidak bermanfaat sebagaimana fungsinya.
Meskipun kentongan dan beduk bukan syariah Islam, namun kedua alat atau sumber suara tersebut menjadi bukti sejarah dalam konteks dakwah di bumi Nusantara. Secara historis bahwa beduk dan kentongan adalah Islam tradisi pada masyarakat Nusantara karena pada masa lalu menjadi sumber suara utama sebelum adzan, walaupun setelah majunya masyarakat hingga kita hampir terlupakan. Wallahu alam