Memanfaatkan Momentum Ramadhan untuk Mengikis Tindakan Mubazir agar Tidak Merugi
Untuk memperindah sebutan bulan yang satu ini, setidaknya ada beberapa sebutan yang dapat dikemukakan, Bulan Ramadhan disebut juga bulan kasih sayang (rahmat), bulan pengampunan (maghfirah), bulan penuh keberkahan (berkah), bulan kemenangan (falah), dan bulan pembelajaran (tarbiyah). Secara rinci dapat dilihat dalam detik.com/khazanah, 16 Maret 2023).
Pada kesempatan ini tidak berlebihan kalau saya katakan juga bahwa Ramadhan sebagai bulan anak negeri ini untuk "memproduksi pahala yang sebanyak-banyaknya". Kemudian, berbagai kesempatan baik yang dapat kita manfaatkan, termasuk momentum untuk mengikis tindakan pemborosan (mubazir) yang menyebabkan hilangnya senilai uang bila kita konpersikan dengan nilai keekonomian-nya.
Sadar atau tidak, terkadang kita "seenaknya" bertindak mubazir. Untuk itu persoalan yang satu ini perlu diangkat, karena secara ekonomi ia akan menimbulkan "opportunity cost" yang tidak kecil. Menurut pengamatan saya, setidaknya ada beberapa tindakan mubazir tersebut, antara lain, mubazir dalam makanan-minuman, mubazir dalam perkataan, mubazir dalam tindakan, mubazir dalam ibadah sendiri, dan masih ada lagi tindakan mubazir lainnya.
Mubazir dalam makan-minum.
Kebiasaan mubazir dalam hal makan-minum yang cendrung menimbulkan ekses negatif dikalangan anak negeri ini sepertinya sudah merupakan hal lumrah, terutama disepanjang dan atau selama bulan Ramadhan ini.
Hal ini sangat memungkinkan, karena tidak sedikit dari kalangan anak di negeri ini yang sedang menjalankan ibadah puasa lebih mengedepankan dan mengikuti "hawa nafsu", dalam rangka memenuhi kebutuhan akan makanan untuk berbuka, mereka biasanya menyediakan berbagai jenis makanan, namun pada saat berbuka makanan tersebut tidak semua dikonsumsi, sehingga mubazir.
Tidak heran, jika kita temukan sisa makanan dalam tumpukan sampah, dan ternyata sampah makanan mendominasi. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2020 (pikiran Rakyat.com, 19 April 2021) bahwa setiap orang di negeri ini aktif menyumbang sampah sebanyak 0,68 kg setiap harinya. Dari total tersebut sampah makanan merupakan komposisi sampah yang paling banyak ditemukan, yakni sebanyak 30,8 persen. (lebih lengkap tentang hal ini lihat Amidi dalam kompasiana.com, 29 April 2022)
Mubazir dalam perkataan.
Memang secara budaya, anak negeri ini terkenal dengan budaya santun, dan ramah. Namun, tidak harus dilakoni dalam hal tindakan mubazir. Mungkin tanpa kita sadari bahwa selama ini pada saat kita bicara didepan publi ,dalam rangka memberikan sambutan atau membuka acara, baik acara resmi maupun acara lainnya..
Dalam kata sambutan tersebut, biasanya kita mendahulukan ucapan penghormatan, sebagaimana lazimnya dalam berpidato. Namun, sayang ucapan penghornatan itu terkadang mubazir, hampir myoritas "hadirin" yang hadir kita sebut untuk memberi penghormatan kepada mereka, bahkan terkadang kalau kata sambutan itu dibuat diatas kertas, hampir satu lembar berisi kata penghormatan. Bayangkan jika acara tersebut menghadirkan petinggi-petinggi negeri ini, maka mulai dari pimpinan tertinggi kita sebut. Sebaliknya, begitu juga ditingkat daerah, sama. Misalnya; Yang saya hormati Bapak Gubernur, Yang saya hormati Bapak Wali Kota, dan seterusnya sampai Yang saya hormati bapak/ibu yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu. Kemudian tindakan mubazir itu intensitasnya akan semakin tinggi, bila dalam memberi penghormatan tersebut kita lengkapi dengan menyebut, jabatan, gelar dan atau status yang mereka sandang.
Padahal, bila kita menghadiri acara yang serupa di luar negeri atau acara serupa di negeri ini, tetapi dalam sekala internasional, mereka yang memberi sambutan atau membuka acara tersebut, hanya menyebut penghormatan dengan sebutan; "ladies and jentleman", setelah itu langsung pada inti pembicaraan atau langsung berpidato, efisien-kan!