Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com
Cerpen | Guru Ngaji
Semua anak sudah pulang ke rumahmya masing-masing. Anak-anak tidak tahu apa yang mereka lakukan. Buat apa mereka mengaji. Mereka hanya tahu sopan santun dan satu pertanyaan simpel kepada orang tuanya: mengapa mereka harus mengaji?
Orang tuanya selalu menjaga sikap agar senantiasa terlihat lembut pasti menjawab, "Karena aku menginginkanmu begitu. Karena Ayah dan Ibu ingin kamu jadi anak pintar dan berbakti pada Tuhan."
Setelah itu tak ada pertanyaan lagi. Anak-anak tidak suka pertanyaan. Mereka lebih suka bermain dan membuat orang tua mereka bangga apa yang mereka lakukan. Mereka berangkat mengaji dan setelah pulang nanti mereka akan menunjukkan kepada orang tuanya hasil bacaan belajarnya tersebut. Cukup simpel dan kekanak-kanakan.
Mengenang masa kecilku dulu, aku kurang suka mengaji. Aku lebih suka membaca buku ketimbang menyanyikan ayat-ayat yang sama sekali tak kupahami arti dan maksudnya. Tapi aku senang karena aku punya ibu yang cakap membujuk anak untuk tetap hadir di surau kecil itu. Bersama anak-anak lain yang belajar bahasa arab.
Ibuku selalu menjanjikan kalo aku bisa membaca bahasa arab dalam waktu satu minggu aku boleh tak hadir lagi ke Surau yang sering kusebut sebagai ladang kekacauan. Aku tidak suka kekacauan. Tepatnya, aku anak-anak yang tak menyukai anak-anak.
Saat itu umurku sepuluh tahun. Dan tanpa pikir panjang aku menyanggupinya. Memang apa sih susahnya belajar bahasa orang timur itu? Cuma membaca kan? Batinku. Aku pasti bisa.
Satu hari berlalu aku belajar dasar-dasar abjad arab dan aku sudah hampir hapal. Dua hari berlalu, aku sudah hapal namun masalahnya aku sering keliru membedakan antara huruf ba' dan huruf nun. Baiklah. Yang titiknya di bawah namanya ba' dan sebaliknya. Yang dipangku atau di dalam atau di atas namanya huruf nun. Tolong diingat-ingat. Aku berdialog dengan otak monyetku.
Hari keempat aku sudah hampir bisa membaca bahasa iqro. Tepatnya jilid tiga. Tapi ternyata itu semua belum selesai karena ketika aku mulai naik satu tingkat, Pak Ustad yang mengajarku berkata, "Cemerlang," ujarnya dengan mata berbinar-binar. "Tapi..." Aku tak suka kata 'tapi'. Biasanya kalimat itu yang berlainan dan maknanya berujung pahit.
Pak Ustad itu --yang aku tak peduli siapa namanya-- menghela napas panjang seakan-akan tugas beratnya tak akan usai dalam waktu dekat ini, melanjutkan, "Kau perlu belajar tajwid dan hukum bacaan lainnya supaya kau paham kapan kau harus memanjangkan bacaanmu, memendekkannya dan mengentikannya dengan tepat."
Tajwid? Pikirku. Makanan apa lagi itu?
Kemudian lelaki tua yang kutaksir berusia 65 tahunan itu menunjuk dadaku tepat di ulu hati seperti melakukannya dengan lampu center, atau pistol, dan mengatakan kaliamat yang jauh lebih panjang, "Tapi aku yakin kau pasti bisa. Kau anak pintar. Hanya sedikit sombong. Namun aku yakin dalam waktu satu-dua bulan ke depan ini kau pasti akan menguasainya. Ini memang sulit bagi pemula tapi aku yakin kau pasti bisa."