Cara 'Si Hidup Anak Si Bangun' Mendapatkan Tuhannya
Hay bin Yaqdzan diletakkan kedalam sebuah peti bertutup mati. Diiringi beberapa bujang dan teman sejawat yang setia, pergilah ibu membawa si jantung hatinya di malam yang gelap gulita ke tepi pantai, Di sanalah ia berpisah dengan anaknya yang tercinta untuk selama-lamanya. Dengan hati remuk-redam dan air mata yang bercucuran diletakkan peti kecil itu di tepi laut serta berdo'a ke hadirat Ilahi : "Ya Tuhanku, Engkaulah yang menjadikan anak ini diwaktunya dia belum ada, Engkau telah peliharakan dia semasa dia dalam kandunganku, dan telah Engkau peliharakan dia dari mula lahir sampai saat ini. Maka sekarang, kuserahkanlah anakku ini kepada kerahiman Engkau, Ya Tuhanku, karena takut pada raja yang lalim itu. Janganlah ia Engkau tinggalkan, ya Arhamarrahimin"
Kemudian datanglah pasang naik yang biasanya meliputi pantai itu sekali setahun. Peti yang berisi bayi itu dibawa oleh alun, terapung-apung beberapa lama di lautan besar, tertutup oleh ranting-ranting dan daun-daun kayu, terlindung dari hujan dan panas matahari.
Setalah pasang mulai turun, terkandaskanlah peti tersebut pada pulau lain yang tidak didiami manusia. Setelah terhempas beberapa kali, dipermainkan ombak di tepi laut, pecahlah kunci peti itu, dan tersingkaplah kayu-kayunya.
Maka terdengarlah tangis Hay bin Yaqdzan yang sayup-sayup sampai - karena kedinginan dan kelaparan itu - oleh seekor kambing hutan yang kebetulan baru saja kehilangan anak. Disangkanya anaknyalah yang memanggil-manggil. Cepat ia berlari menuju suara. Kedapatan olehnya sebuah peti yang hampir pecah. Setelah ditanduknya beberapa kali, peti pun belah dua. Dilihatnya seorang anak sedang menangis. Maka jatuhlah kasihan si kambing hutan, lalu disusukan dan dipeliharanya, ganti anaknya sendiri yang telah hilang.
Pendek cerita... Hay bin Yaqdzan pun terus bertumbuh, dari masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa, dan berumur lanjut serta matang.
Berkat penglihatnnya yang jernih, pendengarannya yang nyaring, perasaan dan akalnya yang tajam, dapatlah Hay bin Yaqdzan dengan pengalamannya sendiri bermacam-macam ilmu : berburu, bercocok tanam, bertenun, ilmu anatomi, dan lain-lain ....
Amatlah duka hati Hay bin Yaqdzan apabila kambing yang menyusukannya diwaktu kecil itu jatuh sakit. Dicobanya memeriksa, apakah gerangan yang menyebabkan sakit itu. Dan setelah kambing hutan itu mati, diperiksanya kalau-kalau penyakit yang menyebabkan maut itu dapat dilihat dalam dada hewan tersebut.
Dibelahnya dada kambing itu dengan batu yang sudah diasahnya sampai tajam, diselidikinya bangunan dan susunan jantung (red - pelajaran anatomi).
Timbullah perasaannya, bahwa adalah sesuatu yang telah meninggalkan badan binatang itu, yaitu sesuatu yang tidak bersifat kasat mata, tapi bersifat lebih halus dari itu, yakni ruhani yang apabila berhubung dengan badan jasmani menjadikan satu hewan yang hidup....
Dari kisah ini, Ibnu Thufail ingin sekadar mengatakan, inilah bukti yang tiada dapat diingkari bahwa segala yang terjadi di alam semesta adalah atas kehendak Zat yang dinamakannya Al-Wajibul Wujud Jalla wa Ta'ala.
Selanjutnya Ibnu Thufail melanjutkan kisahnya bahwa Hay bin Yaqdzan (simbolisasi akal) bersua dengan seorang manusia lainnya yang bernama Asal (simbolisasi agama). Dari sini, Ibnu ingin mengatakan bahwa akal tak akan sampai bisa menemukan 'Sang Pencipta' yang merekayasa segalanya. Akal hanya akan sempurna jika dituntun oleh agama. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah Muhammad SAW: "Agama itu ialah akal. Tak ada agama bagi sesorang yang tidak berakal.