Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng
Kenangan Ramadan Sepanjang 2.000 Kilometer
Jika Ayah yang sedang menyopir, Ibu yang membuka peta lebar-lebar dan memberitahu ke mana mobil kami harus berjalan. Saat kami akhirnya tersesat atau salah jalan (tidak hanya sekali terjadi), akhirnya salah satu dari mereka harus turun dan memanfaatkan GPS (Gerakan Penduduk Setempat) untuk mencari jalur yang tepat.
Sedangkan aku dan kakakku? Seingatku kami hanya mengomentari apapun yang kami lihat di sepanjang jalan dengan aku memakan camilan, padahal kala itu kami berangkat di bulan Ramadan. Aku yang masih SD memang masih belajar puasa kala itu. Meskipun sempat mencoba puasa beduk (berbuka saat adzan duhur), aku lebih banyak tidak puasa dengan beralasan sebagai seorang musafir.
Sebetulnya keinginan Ibuku untuk pulang kampung dan merayakan Idulfitri bersama makuo (kakak perempuan Ibuku) adalah alasan kenapa kami melakukan road tripĀ sepanjang lebih dari 2.200 kilometer ini, selama total dua pekan lamanya termasuk waktu perjalanan pulang-pergi dan menginap di Simaung.
Dan itu adalah sebuah pengalaman yang ikut membentuk diriku menjadi seseorang yang begitu menyukai traveling.
Lebaran di Kampung, Tak Ada Kata Merenung
Sebagai peranakan Jawa-Minang, menghabiskan waktu Ramadan di tanah Sumatera Barat adalah sebuah memori yang tak bisa kulupakan. Meskipun akhirnya saat aku sudah dewasa sempat mudik juga bersama Ibuku, kami melakukan perjalanan dengan pesawat yang sama sekali tidak terasa pengalaman road trip-nya.
Aku masih ingat saat road trip itu, kami membeli fast food atau makanan di warung sebagai santapan sahur di penginapan kota yang kami singgahi, kemudian berburu restoran keluarga untuk berbuka. Salah satu yang paling kusukai meskipun kejadian itu sudah terjadi belasan tahun lalu adalah saat kami berbuka di tepi sungai Musi, sambil menatap indahnya Jembatan Ampera di malam hari dengan menyantap pindang patin dan gulai udang.
Tempat makan atau penginapan yang kami singgahi saat perjalanan ribuan kilometer di dua pulau itu tidak ada yang mewah memang. Namun itu mewarnai kenangan Ramadan masa kecilku dengan sangat mahal.
Begitu pula di rumah makuo yang memang berada di dusun pedalaman.
Jangan bayangkan rumah yang rapat dikelilingi tetangga, rumah makuo berada di tanah yang menanjak dengan pemandangan sawah luas di halaman depan. Tak ada tetangga di kanan dan kiri karena jarak dengan rumah lain minimal 300 meter. Hanya ada satu rumah yang memiliki TV, itupun rumah milik ketua jorong (ketua desa) yang harus ditempuh dengan jalan kaki hampir satu kilometer.
Pakuo dan makuo berprofesi sebagai petani, mengerjakan lahan milik keluarga. Anak-anaknya yang sudah dewasa dan lulus SMA kebanyakan merantau ke Jawa atau ibukota provinsi lain di Sumatera. Hanya ada dua kakak sepupuku kala itu yang masih tinggal karena memang masih berusia sekolah. Aku dan kakakku diajak untuk mengikuti sholat tarawih di dua hari terakhir jelang Lebaran.