Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng
Kisah si Wahab, Pria Peraih Lailatul Qadar
"Haab, Wahaaab, buka pintunya Haaab!"
"Wahab Tajudiin, nanti Bapak temani kamu syuting, bisa pakai teras rumah Bapak..."
"Wahab, kamu mau cukuran dulu sama Cak Nardi?"
Suara warga kampung Sukaheboh silih berganti terdengar di balik pintu rumah Wahab. Sesekali ada teriakan penjual arbanat dan cilok kanji yang bersahutan di tengah keriuhan itu. Seolah tak peduli sedang bulan Ramadan. Begitu pula dengan dentuman tangan menghantam pintu kayu, berusaha membangunkan si punya rumah.
Namun butuh waktu lebih lama bagi suara-suara itu menembus telinga Wahab. Di kamarnya, pemuda berambut gondrong yang gagal dicukur mullet itu masih meringkuk. Tepat di sebelah kakinya ada si gendut Gembul, kucing jantan yang sudah kehilangan organ testisnya, ikut tertidur seperti biasanya.
Suara gedoran di pintu makin tak sabar, diikuti dengan teriakan memanggil namanya silih berganti. Ada laki-laki dan perempuan, ada anak kecil hingga orangtua, berusaha membangunkan putra tunggal mendiang pasangan juragan kos-kosan dan kontrakan itu.
"Minggir semua, kalau pakai ini dia nggak bangun, berarti dia udah pasti meninggal,"
Suara Mustofa, takmir masjid kebanggaan kampung yang katanya pernah foto selfie bareng almarhum Zainuddin MZ menggelegar. Dia datang tergopoh-gopoh membawa toa mendekati rumah Wahab, menembus lautan manusia.
"WAHAB TAJUDDIIN, BUKAAA PINTUNYAAAAAA!"
Mustahil jika tidak mendengar. Wahab langsung terduduk tegak bersamaan dengan Gembul yang meloncat menghantam dada kurusnya.